BUDAYA DAN PEMUDA
Budaya secara bahasa mempunyai
pengertian pikiran atau akal budi,
sedangkan budi itu sendiri bearti alat yang merupakan paduan akal dan perasaan
untuk menimbang baik dan buruk, tabiat akhlak; watak. Budi daya yaitu usaha
yang bermanfaat dan memberikan hasil. Sedangkan pemuda dari asal katanya muda
diartikan disini belum lama ada, pemuda adalah orang yang masih muda; orang
muda ( KBI.1990 ).Para pembaca yang budiman, sejauh ini tentu makasud dari
tulisan ini sangat mudah untuk dipahami. Namun diakui atau tidak sulit rasanya
untuk dikolaborasikan. Melihat dari keadaan yang sekarang ini budaya terkesan
ditempatkan pada sisi yang mempunyai ruanglingkup tersendiri di dalam kehidupan
pemuda. Seolah tumbuh rasa minder dengan budaya – budaya yang dimilikinya.
Menyinggung tentang pembahasan ini, penulis teringgat dengan pelajaran yang
telah didapat terkait tentang budaya. Ada pembahasan tentang etnografi, yaitu
diskrifsi tentang suku – suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu.
Etnografi berawal ketika bangsa Eropa Barat melakukan penjajahan keberbagai
benua (Afrika, Asia, dan Amerika ) sejak akhir abad ke – 15 dan permulaan abad
ke – 16. Sejak saat itulah dimulai
adanya catatan – catatan yang berisi
keterangan tentang suku – suku dan semacamnya yang merupakan kisah – kisah
perjalanan, laporan, serta tulisan para musafir, pelaut , pendeta. Sehingga
dalam himpunan tersebut termuat bahan pengetahuan berupa diskripsi adat – adat,
susunan bahasa, dan ciri –ciri fisik beranekaragam bangsa di Afrika, Asia, dan
suku – suku bangsa Indian, serta penduduk pribumi Amerika.
Mengingat itu adalah permulaan yang
dimulai oleh orang – orang Eropa, sudah tetentu hal – hal tersebut sangat
menarik perhatian orang Eropa, karena menuliskan adat istiadat atau budaya,
bahasa, dan ciri fisik yang berbeda
antar suku – suku bangsa dan berbeda
pula dengan bangsa Eropa. Sehingga disisi lain mempermudah misi mereka untuk
dapat menjajah ataupun memonopoli kepentingan mereka terkait perdagangan. Saat
ini kita tidak menyadari betapa kita
belum menggunakan hasil dari semua itu sebagai
sebuah power dalam menjaga kemapanan dan identiti kita selaku manusia
yang berbudaya. Tentu hal ini nampak dari adanya distorsi terhadap adat istidat
yang merupakan budaya dari orang – orang terdahulu kepada kalangan kaum pemuda
sekarang ini. Percaya atau tidak dari rangakaian yang cukup sederhana
tersebut yang masih menarik adalah terkait hal – hal mitos dan mistik, namun
itupun mengalami pergeseran juga dikangan pemuda . Hariansyah ( 2008:97 )
menyebutkan bahwa :
Jika merujuk pada fakta yang berkembang
belakangan ini, terlihat pemaknaan terhadap peristiwa yang dikenal sebagai
pengalaman mistik ini sedang mengalami proses degradasi makna. Meluncur turun
hingga pada titik terendah. Sebutlah misalnya
fenomena yang tadinya sakral
justru berubah menjadi profan. Agama yang tadinya sarat dengan nilai luhur
berubah menjadi sekedar pemenuhan rasa penasaran segelintir orang untuk
mengetahui nasib masa depan.
Kemungkinan inilah dampak dari perkembangan zaman pada masa sekarang khususnya dikalangan pemuda. Atas dasar itu
patutlah untuk dicegah pada kalangan pemuda itu agar tidak terjadi degenerasi
daalam hal berbudaya. Walaupun paham sinkritisme tetap berlangsung pada masa
sekarang, yaitu paham yang berusaha memadukan unsur – unsur kepercayaan lama
dengan unsur – unsur kepercayaan yang baru. Tetapi unsur keparcayaan yang lama
masih tetap dipertahankan, itu hanya masih kental pada orang – orang tua saja.
Alangkah baiknya semua pihak dapat menyoroti permasalahan ini. Respon baik
mesti diberikan terkait pembinaan generasi muda dalam hal pelestarian budaya.
Namun jangan hanya terkesan menjadi pelakon seni yang bersifat serimonial
belaka, seperti hanya dperlukan untuk mengisi
acara – acara kontestan berupa tarian atau pelakon derama setelahnya
menggu undangan mengisi acara hiburan orang tua – tua diwaktu yang lain. Lebih
dari itu mesti ada penanaman watak budaya pada kalangan pemuda, terutama dalam
lingkungan kelurga dan sekolah. Penanaman nilai – nilai moral dan
spritual serta spiritualisasi seutuhnya. Akhir – akhir ini saja terasa panas ketika telinga mendengar
anak- anak pemuda yang terkesan biasa ketika kesal dengan menyebut nama ’’
anjing” dan lain sebagainya. Sungguh ini sangat ironi sekali. Jika kebudayan
dapat dijadikan sebagi kontrol sosial dalam kehidupan dan pergaulan kalangan
pemuda, sudah barang tentu akan lahir kreasi -
kreasi yang positif dalam pergaulan pemuda. Penulis sangat memberikan apresiasi yang baik
dan mendukung ketika Kepala Dinas Pendidikan Kalimantan Barat (Pontianak Post
2010 : 24 ) menyatakan :
Telah memberikan surat keputusan kepada lima
puluh judul tulisan tentang adat dan budaya. Selanjutnya akan dijadikan
pelajaran muatan lokal diseluruh sekolah di daerah ini.
Tentu itu bisa dikembangakan bahkan
jadi bahan wajib untuk materikulasi bagi kawan – kawan mahasiswa di seluruh
Perguruan Tinggi yang ada di Kalimantan
Barat. Bahkan dalam ujian penerimaan pegawai negeri sipil sekalipun, alangkah
baiknya termuat soal – soal tetang kebudayaan dan adat istiadat yang ada di
daerah ini juga. Demkian halnya juga
dengan adanya sekelompok kaum muda yang mengatas namakan sebagai organisasi
yang mewadahi Kesatuan Seni Umum Melayu Borne, yang dipelopori kalangan pemuda
sebagai wujud rasa kepedulian terhadap identiti mereka dalam hal budaya yang ada di Borneo mesti
direspon dengan baik. Mengakhiri tulisan ini, budaya dengan pemuda mesti diakurkan
dan dilakukan penanaman sejak dini kepada para pemuda. Tanpa ada unsur
membedakan atau terkesan serimonal dalam mengahargai kebudayaan, maka terkait
kebudayaan sebagai identiti di daerah ini mesti tetap dilestarikan dengan
melibatkan kalangan pemuda sebanyak – banyaknya.
Penulis adalah Sesepuh
KESUMBE
( Ketua Umum Kesatuan Seni Umum Melayu Borneo )