SYAIR GULUNG ASLI KETAPANG

Bolehlah saye perkenalkan diri.
Name saye Zunaidi.
Walau jauh kemane pergi.
Diundang bersyair insyaallah menghadiri.

Ayah saye namenye Nawawi.
Umak saye bername Wainah menantu Sedi.
Saye punye tige abang saudare laki-laki.
Pertame Sapuan Nur ketige Zainal Abidin dan kedua si Saupi.

Untuk kedue orang tue kite same berdoe.
Semoge berumur panjang selalu berbahagie.
Kitepun semege jadi anak bergune.
Tau diri dan paham adat budaye serte agame.

Selasa, 20 Desember 2011

PANTANGAN TANJUNG PURA KETAPANG KALIMANTAN



Kabupaten Ketapang adalah merupakan daerah yang harmonis dan masyarakatnya hidup berkerukukanan dengan berbagi macam etnis atau suku dan agama.dari sejak dahulu kala Ketapang merupakan wilayah yang terbuka dengan kehadiran para tamu. Dikatakan oleh tokoh sepuh Raja Gusti Kamboja, pada tahun 977 M berdasarkan kronik China Chu Fan Chi, Kerajaan Tanjung Pura sudah melakukan hubungan dagang dan diplomatik ke Kerajaan China semasa Dinasti Sung dengan mengirim tiga orang utusan. Orang-orangh berbangsa India, China, Arab, Eropa dan berbagai suku bangsa nusantara pernah mengunjungi bahkan menetap di Ketapang, yang dulunya dikenal dengan nama Tanjung Pura dan Matan. Begitu juga hubungannya dengan Malaka pada abad ke-15. Para pedagang dari Tanjung Pura disediakan petugas syahbandar khusus di pelabuhan Malaka demikian juga sebaliknya. Sebagaimana dicatat ahli obat-obatan Portugis, Tome Pires tahun 1512 M ketika singgah di pelabuhan pardagangan Malaka.( Makalah  Gusti Kamboja, 2011:1).
Dalam sejarahnya yang dapat ditemukan dalam buku-buku sejarah tentang Kerajaan Tanjung Pura dapatlah dikemukakan bahwa, sebelum berdirinya Sriwija pada abad ke-17 M wilayah geografis Ketapang adalah merupakan salah satu neegeri tertua di Nusantara. Pada perjalanannya daerah ini menjadi ekspedisi  atau tujuan perjalanan dan tempat persinggahan mulai dari Syailendra, Sriwijaya dengan ekspedisi Pamalayu, Singosari, Majapahit, Mataram dan semasa Kolonial Belanda. Pada masa Majapahit, Tanjung Pura pernah dijadikan Ibu Kota Negara Bagian untuk Wilayah Borneo  (Tanjung Negara) hal ini sebagaiman dinyatakan dalam Prasasti Waringin Pitu (1447) dan naskah Negara Kertagama. Tidak menuntut kemungkinan Ketapang suatu saat akan menjadi negeri yang besar, dengan daerahnya yang luas dan kaya akan sumber daya alamnya jika ditopang lagi dengan sumber daya manusianya yang arib bijak laksana, berpengetahuan agama dan berwawasan ilmu penetahuan serta iman dan taqwa yang tinggi serta siap berdaya saing dan mandari insyaallah dengan penuh betuah dan karamah Ketapang akan menjadi suatu Provinsi Baru Di Kepulauan Kalimantan ini. Bisa jadi nama yang cocok sesui kejayaannya adalah Tanjung Pura, atau provinsi Tanjung Pura, saya sendiri optimis tentang itu berangkat dari hati atau niat yang ikhlas tanpa tunggangan kepetingan politik tentunya.  Di ketapang sendiri sekarang terdapat peninggalan bersejarah, terkait saksi bisu tentang kejayaan Kerajan Tanjung Pura serta bagaimana karomahnya orang-orang sepuh Ketapang pada masa dahulunya, adapun tempat yang banyak menyimpan perjalanan sejarah Tanjung Pura yaitu:
A. Daerah Tanjung Pura. (Tanjung Pure)
Suatu perkampungan di tepian Sungai Pawan yang mengarah ke daerah perhuluan Ketapang. Pada tempat ini terdapat makam raja-raja Tanjung Pura beserta para mentri dan pembesar-pembesar kerajaan ataupun keluarga kerajaan. Jalan menuju makam sanagt jauh dari ibu kota  Kabupaten Ketapang, sebelum samapai ke pemakaman kita akan menemukan jalan yang terputus, jalan tersebut terputus karena ada rawa yang tergenang air, apabila munsim penghujan atau air sungai pawan pasang, maka akan tergenang dan banjirlah jalan itu. Sehingga untuk melewatinya mesti memakai perahu sampan yang disedikan oleh msyarakat setempat dan memberi uang sebagai pembayaran jasa yang tidak cukup besar. Untuk mempermudah akses menuju makam dan daerah Tanjung Pura tersebut pemerintah telah berusaha untuk menutup rawa tersebut dengan menimbunya pakai tanah. Namun menjadi omongan masyarakat dan rahasia umum, serta maha kuasa Allah SWT, ternyata walau sudah menghabiskan banyak kubik tanah untuk menimbunnya, rawa tersebut tidak juga dapat ditimbun, padahal luasnya tidaklah seberapa. Pasair yang dimasukan bertruk-truk besar jumlahnya, tetap saja tidak bisa di timbun. Bahkan tanah tersebut hilang tanpa bekas, tanpa diketahui. Selanjutnya dibangunkan pula jembatan sebagai alternatif selanjutnya, namun lagi-lagi menjadi aneh tetapi nyata, ternyata ketika tiang-tiang penyangga jembatan hendak di tanjapkan, terjadi keanehan, berapapun panjang tiang yang ditancapkan selalu saja terpendam dengan dalam, seolah-olah ada yang menariknya ke dalam tanah, lagi-lagi hilang tanpa berbekas. Ini adalah kisah yang sudah menjadi perbincangan masyarakat paada umumnya. Namun bisa saja srtuktur tanah tersebut memang labil atau ada faktor lain yang menyalahi dalam pekerjaannya. Hingga sekarang hal tersebut masih bersifat misteri.
Terdapat juga Lapangan Khalwat, yaitu lapangan yang menjadi tempat raja-raja Tanjung Pura pada masa dahulu utuk menyendiri, konon katanya tempat itu adalah merupakan pintu gerbang tau jalan menuju demensi dunia lain, bahkan ada yang mempercayai ulama-ulama terdahulu dengan  kebersaihan batinya dan taat beribadah serta adanya karomah, bisa sampai ke Mekkah untuk berhaji ataupun sembahyang Jum’at kesana melalui jalan tersebut


Maka adakalanya pada hari-hari tertentu dan biasanya pada hari lebaran Idul fitri (Lebaran Puase…red orang Melayu Ketapang) bahkan juga lebaran Haji (Idul Adha) dan hari-hari lainnya, masyarakat Ketapang melakukan jiarah makam, berdo’a serta bayar niat, yaitu ketika terkabulanya apa yang diinginkan kepada Allah SWT, maka ada kalanya masyrakat berniat akan menjiarahi makam raja-raja Tanjung Pura sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah dan sunnah Nabi  serta mengingat kematian. Terkadang apabila kunjungan masyarakat bertepatan dengan waktu salat, maka mereka akan salat di lapangan Khalwat tersebut baik sendiri ataupun berjamaah.
Selain itu terdapat pula sumur atau kolam pemandian putri raja, namun sumur itu tidak terawat dan apabila musim kemarau tidak berair sama sekali. Terdapat pula sumur yang airnya diyakini mujarab untuk penyembuhan segala macam penyakit, sumur tersebut dinamai Sumur Sapu Jagat. Konon katanya iar tersebut tidak akan kering walaupun dimusim kemarau. Airnya sangat jernih. Terkadang penjiarah makam menyempatkan untuk mandi, serta membawa pulang air tersebut dengan bertempatkan dirigen ataupun bertemaptkan botol air mineral, lalu tempat tersebut akan di tempelkan  tulisan yang menerangkan bahwa air itu adalah air Sapu Jagat.
B. Derah Mulia Kerta (Mulie Kerte)
Di daerah ini berdiri Istana peninggalan Kerajaan Matan yang merupakan dekgradasi  Kerajaan Tanjung Pura.

 Istana tersebut berdiri dengan kokoh dan masih menyimpan sedikitnya barang-barang antik peninggalan Kerajaa Tanjung Pura, seperti adanya meriam berukuran kecil dikenal dengan sebutan Meriam Padam Pelita, konon katanya jika meriam tersebut dibunyikan akan dapat memdamkan api pelita yang menyala.

 Di dalam istana juga menyimpan foto-foto tokoh-tokoh kerajaan serta berbagai macam guci buatan dari China, adapula pakaian kebesaran raja-raja.
Tidak jauh dari istana terdapat pula makam raja-raja yang memerintah selam di istana tersebut, komplek pemkaman ini menjadi pemakaman khusus untuk orang-orang yang mewarisi darah raja yang bergelar Uti untuk yang laki-laki di depan namanya, dan bergelar Utin untuk perempuan juga dipakai di depan namanya, apabila mereka meninggal maka akan dimakamkan pada komplek pemakaman raja tersebut.

Di depan istana tersebut terpampang falsapah kerjaan Tanjung Pura yang meruapakan kata-kata petuah dan disegani untuk selalu dinggat oleh masyarakat setempat.
Kata tersebut mengandung makna tersendiri dan mempunyai nilai-nilai moral dalam kehidupan bersosial yang sangat tinggi. Mustike Indah Jaye Sempure (Mustika Indah Jaya Sempurna) dipahami sebagai motivasi hidup, mustika adalah benda atau barang berharga seperti batu permata, mustika itu bermacam-macam bentuk dan warnanya, batu mustika itu biasanya menjadi perhiasan mahkota raja, perhiasan istri atau putri raja. Bahkan di Suka Dana ada pedang peninggalan kerjaan yang gagang pedang beserta sarungnya dihiasi oleh batu mustika yang berwarna merah kemilau. Jika batu mustika itu berwarana meraha walupun kecil ukuranya, jika di masukkan ke dalam gelas yang berisi air putih yang jernih dan bersih, dan disediakan tujuh buah gelas kaca yang transparan, maka ketika batu itu di masaukakan ke gelas yang paling ujung susunannya, akan dapat dilihatlah cahaya mustika merah itu menembus enam gelas yang tersusun rapat tersebut. Batu mustika dikatakan pula batu yang hidup, maksudya batu-batu itu memilki kekutan gaib, menjadi media bagi jin untuk bertempat, sehingga untuk mendapatkannya terkadang dengan cara ritual atau orang-orang tertentu saja. Itulah batu mustika yang dimaksudkan.( Menurut Zunaidi Tuan-Tuan). Siapa saja boleh untuk membuat pemaknaan dan penterjemahan denagn bijak dan ad keterkaitanya. Wajarlah jika mustika menjadi simbul dalam menggambrakan keagunggan ciptaan Allah yang apapun itu sangat berharga ketika Allah yang menciptakan. Orang-orang dalam kehidupanya terkadang merasa tidak sempuran jika hidup tanpa harta benda. Maka oleh karena itu dengan kebijak sanaan kata tersebut seolah menjadi penginggat bagi kita bahwa sesutu yang dianggap indah bisa saja membuat diri dipandang dengan sempurna sebagai ciptaan Allah SWT. Namun pada realitanya tidaklah ada manusia yang sempurna selain berbekal akal atau pikiran yang baik sebagai hamba Allah. Selain itu tiada pula manusia yang tidak bersalah. Sedangkan termuatnya kalimat “Dilupakan Pantang Dilangkah Tulah”, ini mempunyai makna bahwa adat istiadat dan budayanya orang Ketapang sangatlah keras. Ini berkaitan dengan filosofi orang Melayu, Melatu taiad hilang ditelan zaman, Melayu selalu menjaga marwah atau nama baik, Melayu besendikan syara’, dan syara’ bersendikan kitabullah (Al-Qur’an Dan Hadis Rasulullah). Apapun itu dianggap sebagai pantangan  sehingga tidaklahboleh untuk dilupakan, jika terlupakan bearti akan ada pelanggaran dan setiap pelanggaran akan mendapat konsekuensi tulah tau karma baik itu berupa kesialan atau penyakit atau cemoohan dari masyarakat. Dalam hal ini petuah-petuah (Petue-petue) orang tua atau sesepuh sangatlah dipegang kuat. Sekalipun kita berpendidikan dan bersekolah tinggi tetap saja masyarakat menuntut kepatuhan kita terhadap estetika yang berlaku di daerah Ketapang, bahasanya adalah petuah lebih tinggi dari pada ilmu (Petue lebeh tinggi dari pade ilmu).  Ini sangat suatu kesepakatan umum yang sudah mengakar dan tidaklah dipermasalahkan. Jadi tidaklah heran untuk bertahan di Ketapang mesti patuh terhadap apa yang menjadi pantangan masyarakat setempat. Banyak sekali larangan atau pantangan yang selalu dipegang dan menjadi warisan turun temurun. Kemungkinan itulah kemahiran orang-orang tua-tua terdahulu dalam mendidik anak-anaknya, padahal mereka tidak bersekolah tinggi, tetapi terkait moral atau estetika sosial mereka mampu mengajarkanya kepada generasi muda. Melalui adat istaiadt dan budayalah, agama serta pembentukan moral generasi muda bisa dikenalkan sejak dini. Adapun petuah-petuah atau pantangan itu sendiri sangatlah banyak, dan setiap pantanagan itu terdapat nilai-nilai penedidikan dan pembentukan moral manusia, serta mengatur hubungan manusia dengan sesama makhluk dan juga kepada Allah SWT secara langsung.  Diantara pantangan itu dan hanya bersumber dari kisah-kisah orang tua dan terkadang juga dari para pendatang di Ketapang yang juga mereka patuh dan percaya diantaranya adalah: 1. Apabila baru datang ke tanah Ketapang, maka memberi salam dan bershalawatalah kepada Rasulullah ketika memasuki Ketapang. Tidak jelas pula mesti memberi salam kepada siapa, namun sutu kepercayaan yang dibentuk atas dasar keyakinan bahwa disetiap dermaga Ketapang selalulah ada penjaganya yang bersifat ghaib. Tentu ini tidak pula lalu dikatakan mistik atau tahayaul karena secara dasar keyakinan, kitapun yakin adanya dunia dan keberdaan makhluk lain selain manusia. Kosekuensinya adalah bila tidak patuh, maka suatu hari ada musibah yang menimpa pendatang, yang sulit untuk dijelaskan secara logis atau akal masyarakat akan mengaitkan kejadianya degan hal tersebut. Ini sudah menjadi rahasia umum bahkan para pendatang saling mengingatkan sesama pendatang. Seolah-olah mereka sudah paham tentang pantangan di Ketapang.2. Bagi pendatang apabila ditanya, banyak kah membawa bungkusan? Maka jawablahlah bahwa bungkusan anda tidak banyak. Walaupun pada kenyataanya bungkusan atau barang yang dibawa sangat banyak sekali. Mengapa demikian? Karena adapun yang dimaksud “bungkusan” itu adalah ilmu pengetahuan atau ilmu kanuragan ataupun kemampuan kita terkait kekeuatan indra keenam atau seperti kemampuan para normal. Jika banyak “bungkusanya” berti kita banyak membawa bekal, dan orang yang menanya berkeinginan untuk mengujinya. Nanti banyaklah perkara yang sengaja di buta-buat sebagai awal keselisihan paham. Dengan demikian akan terjadilah hal-hal yang sulit pula untuk dijelaskan secara ilmiah apa yang terjadi pada kita. Terkadang ada yang tiba-tiba sakit ataupun menjadi bungkam. Namun apapun yang terjadi tidaklah berbahaya selagi tidak ada perlawanan baik secara kekuatan sebgai manusia maupun kekuatan gaib, cukuplah untuk meminta maaf atas ketidak tahuan kita dengan apa yang dimaksud oleh si penanya. Demikian ini mengandung nilai moral betapa kita tidak boleh menyembong diri atau takabur, bahkan merasa punya ilmu yang sagat luas dan tinggi. Kita dipinta untuk ramah, baik, dan sederhana dalam penampilan dengan masyarakat. Maka tidak heran jika ada anggapan bahwa di Ketapang itu banyak ilmunya, dan banyak pula orang sakit yang bukan karena medis tetapi karena “penyakit kampung” yaitu perselisihan paham serta hubungan yang tidak haromonis dengan rekan dan sesamanya. Dengan segala cara terkadang dipakai untuk membalasnya. Jika demikian benarlah istilah yang mengatakan ilmu orang Ketapang adalah “ilmu telur masak mentah”. Maksudnya yaitu jika ia menyakiti maka penyembuhannyapun ada pada orang yang menyakiti tersebut. Sekalipun dokter atau dirawat di rumah sakit maupun “dukun-dukun kampung” (Tabib atau orang pandai) yang mengobati terkadang susah juga. Lagi-lagi kita dituntun untuk berprilaku baik dengan siapapun jangan sembarang berbicara atau berprilaku dan berbuat, karena bisa jadi ada yang tersinggung dalam diam dan tidak suka dengan kecongkakkan kita. 3.  Kempunan jika menolak tawaran makan. Maksudnya jika kita ditawari untuk mencicipi suatu hidangan baik itu makanan atau minuman. Dalam arti kata kita di diajak untuk memakan makanan yang ditawarkan atu yang telah terhidag maka berusahalah untuk memkannya, jika sudah tersa kenyang atau daya tahan perut tidak mampu maka katakan itu sebenaranya, dan menolaklah dengan halus dengan cicipilah sedikit saja, walaupun hanya sesendok saja, jika tidak juga, maka sentuhkan ujung jari tangan kita pada makanan dan minuman yang ditawarkan itu atau di colet saja. Makanan yang umumnya seperti itu adalah jika ditawari kopi, nasi ataupun kue-kue jajanan. Bila tidak dilakukan maka, setiap kejadian atau yang menimpa kita setelah menolak tawaran tadi tanpa mencicipi atau mencoletnya selalu dikait-kaitkan. Bahkan mereka akan mengatakan nanti “kempunan” (Pamali bahasa Jawanya) nanti ketabarak motor, atau jatuh  dan lain sebagainya. Tentu saja itu adalah perkataan atau ucapan yang mengandung energi yang negatif. Ingatlah Allah adalah sesui dengan prasangka hambanya. Perkataan itu tentu juga termasuk kalam atau do’a dan berpengaruh pada yang mendengarnya. Jika terjadi kecelakaan maka wajar saja karena mendapat do’a yang tidak bagus, sugesti negatif akan ditransfer pada kita yang cuek dengan tawaran makanan  itu.  Pesan moralnya tentu kita dipinta untuk menghargai pemberian dan buatan orang lain. Sebagai tamu si tuan rumah sudah berusaha untuk menjamu tamunnya dengan kemampuan yang dia miliki walaupun hanya sekedar air putih dan kopi. Kita harus berpikiran postif terhadap apapun yang terjadi. Jika kita berprasangka tidak baik pula terhadap “kempunan” itu maka kita mendapatkan energi yang negatif dan sepenuhnya perlindungan dan kekusaan itu ada pada Allah SWT. Hargai seperti apapun pemberian orang lain dan berikan penolakan yang santun jangan mengatakan tidak enak dan tidak sesui selera, tentu ini menyakiti persaan sipemberi pula. 4. Jangan duduk di depan pintu (Lawang), ya ini benar saja jika dilakukan tentu yang lewat mau masuk ke dalam rumah jadi bersusah payah. Karena dihadang si yang duduk di depan puntu. Namun bijaknya orang tua dahulu dan menyadari daya tangkapa berpikirnya masa anak-anak mengatakan jika duduk di depan pintu nanti kalu sudah besar baik dara atau bujang akan susah mendapatkan jodoh. Jik anak perempuan sudah gadis maka dipinta balang katanya,  maksudnya mau dipinang laki-laki tau-tau dibatalkan begitu saja. Kita mungkin paham makna  dari pantangan ini. Sebagaimana saya kemukakan di atas. Memang tidaklah sewajaranya kita untuk duduk-duk di depan pintu, baik selagi kecil maupun setelah dewasa dan tua. Apalagi jika dudukny melunjurkan kaki higga jadi penghalang. Perilaku ini seperti ratapan atau meratap, seperti tertimpa musaibah ataupun memikirkan dan menghayal yang bukan-bukan. Karena pada umumnya duduk di depan pintu hanya dilakukan sendiri dan kebiasaannya adalah melamun serta memperhatikan gerak-gerik orang yang berlalu lalang. Jika perempuan dihawatirkan menggoda hati orang-orang yang lewat pula. Bahkan jika ada yang mau mampir untuk bertamu menjadi sungkan dan enggan karena ada yang menghadangi pintu. Seingga saya diwaktu kecil orang tua saya sangat marah sekali jika melihat saya duduk didepan pintu dan emnghadainya lewat, pernah dicubit sampai menangis pula, dan dinasehati untuk tidak menghalangi pintu atau menghambat masuknya orang. Jika dulu rumah-rumah orang Ketapang kebanyakan adalah berlantai tingggi dan mempunyai satu tangga yang tinggi pula, maka sudah semestinya kita dilarang duduk di depan pintu atau menyantai di tangga rumah. Namun sekarang dengan pembangunan yang makin berkembang rumah-rumah yang minimalis dan berbagi bentuk terkadang sudah ada serambi atu terasnya, jadi duduk di teras rumah menjadi salah satu solusi untuk menikmati suasana. 5.   Pantang menduduki bantal nanti bisul. Demikianlah juga merupakan salah satu pantang, kita dilarang untuk menduduki bantal yang seyogyanya menjadi alas kepala jika sedang baring atau tidur. Oarang tua zaman dahulu paham betul bagimana menanamkan nilai moral pada anaknya melalui simbul-simbul. Bayangkan saja, jangankan mau mempermainkan kepala manusia atau  mengetok kepala orang lain, untuk menduduki bantal saja kita dilarang. Sungguh sangat menakutkan jika hanya gara-gara menduduki bantal saja pantat menjadi bisul, tentulah tidak akan ada yang mau melakukannya. Pesannya sangatlah jelas, kepala sebagai mahkota manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang dianggap sempurna karena memuat akal dan pikiran. Bisa membedakan mana yang baik dan manapula yang buruk, baik untuk dilakukan maupun tidak pantas untuk dipikirkan. Hanya kepada Allah SWT lah kepala boleh diturunkan dan dipatuhkan, atas pengakuan kita kepada Allah maka kita wajib untuk bersudu dalam ibadah salah dengan meninggikan bagian pantat dari pada kepala (posisi sujud). Banyangkan maha kuasaNya Allah, kepala yang berisi akal dan pikiran itu dihadapan Allah bisa lebih rendah dari pada tempat keluarnya kotoran kita. Maka janganlah sombong dan selalu angkuh sebagai manusia yang  hanya bermodal akal dan pikiran. Sekarang ini kita mungkin heran saja jika melihat anak-anak muda nongkrong dan duduk di tepian jalan atau asyik-asyik berkumpul sambil duduk-duduk, mereka malah menjadikan helm penutup kepalanya untuk dijadikan tempat duduk menopang pantatanya. Sekilas mungkin tiadak masalah, namum dalam menempuh dan menerapkan akhlak yang baik, estetika yang santun dan kehidupan generasi muda yang berkarakter, mereka mestilah untuk  dikenalkan dengan makna simbol-simbol dalam kehidupan mereka. 6. Jangan baring di tempat terbuka nanti dilangkah antu panjang. Semasa saya kecil ini sangat menyeramkan, dan sangat tidak terbiasa untuk berbaring di tempat terbuka, selain di kamar atau di dalam rumah. Berbaring di tempat terbuka yaitu di tempat yang tidak beralas atau berlantai, dan tidak beratap. Tentulah tidur demikian sulit untuk dilakukakan,dalam hal berbaring dan mau tidur saja orang tua-tua dahulu yang tidak mengenyam pendidikan formal atu  perguruan tinggi tau bagaimana memperhatikan dan mengajarkan bagaimamana selayaknya kita untuk tidur. Entahlah bagaiman bentuk hantu (antu) panjang itu, konon katanya itu adalah makluk  gaib sejenis jin, berambut panjang, berbadan dan berkaki panjang. Makanya disebut hantu panjang. Hantu itu akan melangkahi kita, atau mengangkangi kita, atau merasuki kita dalam mimpi. Sehingga terkadang katanya jadi kemasukan. Namun bagi kita yang berintelek dan tau bagaimana penejlasan ilamiahnya, tidaklah terfokus pada hantu panjangnya, lebih dari itu kita menggali nilai-nilai pendidikan yang masih ada dan penguat sebagai tradisi dan buadaya bagi masyarakat Ketapang. Tidaklah banyak orang muda yang masih athu permasalahan pada nilai-nilai tatanan ini. Jika semua terjebak pada istilah tahayul dan mistik maka seharusnyalah budaya dan adat istiadat itu tidak ada lgi di muka bumi ini. Hanya keterbatasan kita untuk menggali pesan moral yang disampaikan itulah yang membuat kita terjebak denagn istilah itu. Tugas kitalah untuk memberikan penjelasan yang logis dan ilmiah semampu yang kita bisa. 7.   Jangan mandi melawan arus, bila hendak mandi di sui Pawan Ketapang memang jangan mandi melawan arus sungai. Kita tidak perlu bertanya panjang lebar mengapa dan kenapa demikian. Ketika saya berliburan ke tempat kediaman kawan saya di perhuluan sungai Pawan, tepatnya di desa Randau Jungakal Kecamatan Sandai Kabupaten Ketapang (merupakan kawasan terbesar di Kalimantan Barat pembalakan hutan yang terekspos oleh media masa nasional dan lokal) Ayah saya berpesan “ jangan mandi melawan arus” ya wajar saja di sana itu airnya sangatlah deras sekali, sehingga wajar saja tidak ada yang mampu mandi menghadap arus yang lejangnya seperti “peluru” tersebut. Tak heran jika ada pantun bagi orang Melayu Ketapang” Sungai Pawan airnye deras, banyak kayu melintang pukang. Orang Ketapang ilmunye keras, banyak pendatang yang dak bise pulang”. Demikian juga ada anggapan jika keperhuluan Ketapang berahati-hatilah terkena penyakit “kura” jadi siangnya saya dipesankan oleh Ayah saya jang tidur siang. Begitu saya keperhuluan Ketapang saya jadi tahu tentang pantangan itu, jika mandi melawan (menghadap) arus sungai, bisa-bisa saya akan terbawa arus sungai dan sulit untuk menepi atau menemukan pegangan, belum tentu juga hanyut mendapatkan kayu yang terapung. Bisa-bisa mati tenggelam atau di makan buaya, bahkan konon katanya ditapukan “bengkik” (Disembunyikan hantu air bernama bengkik), katanya hantu bengkik itu hantu air yang berambut pirang panjang dan kadang menjelma atau meyerupai seperti orang yang kita kenal. Hantu tersebut kedua tangannya berbeda ukuran, jika kita tertangkap oleh tangannya yang panjang kita masih ada kemungkinan lepas, jika tertangkap tangannya yang pendek maka tidak ada lagi kemungkinan untuk lepas ataupun lari. Tangan pada bagian mana yang panjan atau pendek sanagt tidak ditemukan penelusurannya. Setidaknya kita percaya bahwa jin dan sebangsanya ada yang berdiam di bumi Allah yang luas ini, apakah di daratan, laut ataupun sungai dan hutan belantara. Katanya bengkik itu hanya memakan semangat ( syahwat) kita ketika di air dengan menakuti. Bayangkan saja sudah mau tengelam di air malah ada jin  yang menakut-nakuti, tentulah akan membuat daya tahan tubuh di air jadi berkurang. Makanya dalam Islam ada do’a dalam setiap beraktifitas apapun. Jika kita tidur siang di daerah perhuluan tentu itu akan membuat badankaita menjadi sakit, apa pasalnya karena perkampungan yang masih asri dan banyaknya hutan atau semak belukar dan pohon besar di dekat perumahan warga membuat nyamuk-nyamuk kecil bergrelia mencari mangsa. Nah itulah peyebab pantangan tidur siang itu, nyamuk malairia sangat akatif di siang hari. Tetapi bagi masyarakat yang daya tahan tubuhnya sudah kuat dan terbiasa bagi mereka biasa-biasa saja, bagi kita tentu harus mempertimbangkannya jika mau tidur diwaktu siang. Itulah menjadi lasan mengapa kebanyakan  orang-orang yang tidak tahan pergi dan menginap ke perhuluan Ketapang akan sakit atau muntah darah jika pulangnya. Efek dari semua itu dikenallah penyakit “Kura” untuk sembuh terkadang mesti di urut (dipijit) oleh orang yang ahli dalam pemijitan penyakit kura tersebut. Selain itu juga disebabkan setetika pendatang yang tidak bersahabat dengan masyarakat pribumi di perhuluan atau di perkampuang. 8. Bepajang (berbuang-buang). Berpajang yaitu suatu ritual yang dilakukan pada saat upacara-upacara tertentu. Seperti ketika hendak mau melakukan hajatan pernikahan dengan acara yang besar. Pada prosesi berpajang banyaklah pantangan yang dilakukan prosesi dipimpin oleh seorang dukun kampung. Sebenarnya berpajang ini hampir sama dengan tolak bala’ memaki tepung tawar. Namun berpajang lebih melibatkan bantuan demensi lain, maksudnya mempekerjakan jin sebagai makhluk gaib. Itu untuk menjaga prosesi acara yang berhajatan besar agar berjalan dengan lancar. Kemudian diharapkan pula pada saat acara barang-barang pecah belah yang dipinjam atau kepunyaan si tuan rumah tidak pecah atau tidak rusak, serta tidak ada gangguan dari dukun-dukun kamapung lain yang jahil atau orang yang iri dengan digelarnya acara yang sedang berlangsung. Sebab terkadang ada saja pada masa dahulu orang-orang yang jahil untuk mengacaukan acara. Biasanya itu pekerjaan dukun lain yang mau mengetes kemampuan dukun yang dipakai si tuan rumah, atau juga orang lain yang dendam dan iri hati. Terkadang sewaktu hajatan nasi yang sudah dimasak berjam-jam di dalam dandang menjadi tidak masak. Ada-ada saja cara mereka untuk mengacaukannya, konon katanya apabila seekor katak dimasukan ke dalam tempurung (katak yang di tutupi tempurung) lalu di dekatkan di dekat tungku memasak yang tidak kelihatan, maka nasi yang yang ditanak tidak akan masak-masak, dan tutup panci (periuk/ dandang) tersebut akan melompat-lompat saja seperti bagaimana kodok yang hendak melompat di dalam tempurung tersebut. Terkadang ada juga yang nakal dengan mencampurkan jenis tanaman biji-bijian seperti kacang ke dalam masakan yang sedang dimasak dengan diam-diam tanpa ketahuan si pemasak atau tukang rempah. Dapun jenis tanaman tersebut disebut dengan nama “belangkin” tanaman ini jenis biji-bijian seperti biji kacang, berhasiat untuk membersihkan kotoran di dalam perut. Jika susah buang air besar, memakan sebutir saja maka akan memulaskan perut. Namun jika terlalu banyak akan sangt berbahaya sekali, apalgi jika mata tunas di biji belangkin itu tidak dibuang. Nah blangkin inilah yang sering di pakai orang untuk membuat sakit perut undangan yang memakan makanan yang telah disajikan tuan rumah, sudah barang tentu tuan rumah akan mendapat cemooh dari para undangan walaupun tidak secar langsung, jadi bahan pembicaraan dan lain sebagainya. Untuk mengatasi sakit perut karena blangkin ini petuanya orang-orang terdahulu yaitu dengan meminum air kelapa muda, ataupun denagn meminum air rendaman dari kerak nasi yang dimasak, kerak nasi itu direndam  dengan air lalu airnya diminum. Apabila nampak berbahaya maka seharusnyalah untuk merujuk ke rumah sakit, dihawatirkan bisa dehedrasi atau kekurangan cairan. Blangkin banyak tidak diketahui orang, karena malas untuk bertanya dan membahasnya. Padahal tanaman ini sangat bermanfaat dan funsinya tergantung pula bagi yang menggunakannya. Demikianlah mengapa sebagian masyarakat masih mengunakan prosesi berpajang sebelum acara digelar. Dukun akan membaca mantara sebagai pelindung, lalu membuang sesajen ke suangai atau di hutan belakang rumah, kemudian ada sesutu barang yang akan dipendam di bawah tiang dapur rumah, biasanya telur dan barang pecah belah seperti gelas dan piring (pinggan) barang itu lagi-lagi dimantrai. Setelah selesai acara pajang itu dicabut kembali, istilahnya adalah tidak dipakai dan lagi-lagi sang dukunlah yang akan melakukan prosesinya. Sesiring dengan perkembangan zaman tradisi berpajang sudah ditinggalkan hanya diaderah tertentu saja yang masih memakianya, hal ini karena telah terjadi asimilasi budaya dengan ajaran agama yang menjadi batasan boleh dan tidak menurut agama. Inilah hebatanya tolerasi budaya orang bijak yang mesti patuh pada ajaran agama dan tidak mau mempertentangkannya. Sekarang masyarakat lebih suka mengundang orang-orang untuk membaca surah Yasin dan membaca do’a selamat. Lalu air do’a selamat itu sebagi air tolak bala’ di mandikan, disiramkan pada rumah, sebagian lagi disiramkan ke peralatan dapur yang pecah belah tersebut. Dengan demikian permohonan keselamatan dan pertolongan semata-mata diharap hanya kepada Allah SWT.   9. Jangan menoleh ketika membuang tembunik (ari-ari bayi), setiap bayi yang lahir akan beriringan  dengan tembuniknya (ari-ari). Petuanya dalam memberlakukan tembunik (ari-ari) bayi yang akan dibuang yaitu, tembunik tersebut mesti telah tercuci dengan bersih, dukun beranaklah yang mahir dalam mengemas dan embersihkannya. Tembunik itu dianggap sebagi teman atau saudara bagi si bayi yang setia menemaninya hingga lahir. Jadi dianggapalh mesti memberlakukanya dengan baik pula. Untuk membuang tembunik tersebut ada dengan cara menghanyutkannya pada sungai atau air yang mengalir, ada yang memendamya di dalam tanah di depan rumah atau perkarangan atau di tiang tongkat samping rumah, lalu ada pula yang di masukan ke dalam bakul (keranjang anyaman dari daun pandan berukuran kecil) kemudian bakul itu di gantung di atas cucuran atap  (kaki atap) rumah bagian luar. Semua itu tergantung dari bagaimana aturan dari orang tua  sang suami, adatnya adalah mengikuti sang suami. Jika saya tembuniknya mesti dihanyutkan ke air yang mengalir yaitu sungai. Dan yang membuangnya di utamakan kepada sang Ayah, jika tidak siapaun boleh selagi paham dan tau caranya. Ketika tembunik itu dibuang, maka tembunik itu diajak berbicara, kita mengucapkan terimakasih dan berharap kondisi bayi baik-baik saja.  Kita tidak menggap membuangnya melainkan telah menempatkanya pada tempat yang layak, yaitu di air agar terus hidup dan mengalir. Ketika tembunik itu telah tenggelam terbawa arus maka sewaktu beranjak meninggalkannya dipantang untuk menolehnya kemabali (tidak boleh melihat ke arah tembunik yang telah dibuang) karena konon akan  membuat mata si bayi kelak menjadi juling dengan pandangan yang tidak normal, dan jika tembunik itu tidak diberlakukan dengan baik terkadang bayi akan sering sakit dan “merange” (gelisah, menangis, susah ditidurkan). Bila tembunik itu di pendan di dalam tanah terkadang di tutupi terlebuh dahulu dengan sesutu yang membuat rongga di dalam tanah, jadi tidak semerta-merta ditimbun pakai tanah. Kemudian diberi rongga udara dan jika malam dikasi penerangan lampu, pelita atau lilin. Hal ini menggambarkan bagaimana selayaknya manusia mengharagai dengan baik oragan tubuhnya, ataupun sesuatu yang merupakan sumber kehidupan, tidak mencampakannya demikian saja. Norma-norma itulah yang berusaha disamapaikan oleh para pendahulu orang-orang tua dahulu untuk keberlangsungan generasinya melalui adat istiadat yang telah mengakar. 10. Jangan menunjuk kuburan denagan jari telunjuk nanti putus, ada-ada saja tetapi inilah keunikan pendidikan moral dan estetika orang terdahulu kepada generasi muda, bayangkan orang yang sudah tiada atau meninggal dunia dan hanya nampak tiang nisannya saja, kita dipantang untuk menunjuknya. Apalagi jika pada orang yang masih hidup. Kita tahu mungkin, bagaimana filosofis tentang jari telunjuk itu, suka memerintah dan menunjuk saja tanpa mau tahu permasalahan orang lain dan terkesan angkuh, jari jempol itu selalu sebagai pemberi nilai, jika bagus dikasi jempol mengajung ketas, jika tidak diberi jempol yang mengacung ke bawah, seangakan jari tengah selalu melakukan penghasutan pada jari telunjuk. Angkuh karena tinggi dan bisa membuat aorang menjadi kurang ajar. Tidak seperti jari manis yang ramah dan bersahaja, jadi wajar saja jika jari manis lebih layak mendapatkan pengharagaan seperti tempat pemasangan cincin pernikahan, manis dan indah sekali. Sedangkan jari kelingking selaluj teguh memegang janji setianya, walaupun kecil ia mempunyai tanggung jawab atau amanah yang besar. Jika kita hendak berjanji jari kelingkinglah yang senantiasa dipertemukan sewaktu kecil. Nah jika semua jari adalah telunjuk atau jempol dan seragam semua tentu menjadi tidak indah, walau berbeda-beda tetapi saling melengkapi dan membantu kekurangan satu dengan yang lainya. Maka janganlah melakukan hal yang sia-sia denag telunjuk kita, apalagi hanya sekedar menunjukan kuburan yang jelas di depan mata kita. Dengan tanda adanya batu nisan, siapapun tau bahwa itu adalah kuburan. Dengan demikin setidaknya salah satu cara juga untuk menghargai, menghormati orang yang telah meninggal dunia. Bila sudah terlanjur melakukan penunjukan terhadap kuburan tersebut, maka gigitlah jari telunjuk itu lalu ludahkan air liur kita setelah menggigitnya. Itu gambaran sebagai rasa bersalah dan tidak akan mengulanginya lagi. Mungkin ini juga yang menjadi alasan terkadang ada orang yang menunjukan sesutu dengan mulutnya yang di muncungkan sembil mengangkat kepala dan dagu atupun dengan cara yang lainnya. Jika orang-orang jawa mempersilahkan sesuatu dengan mengacungkan jempolnya sebagai suatu bentuk kesopanan kepada tamu dan orang lain. 11. Dipantang membakar belacan (terasi) di dalam hutan belantara. Jika kita hendak bekerja di hutan untuk menggesek (memotong) pohon ataupun kerja merimbak (melapangkan) hutan untuk lahan pertanian ataupun untuk bermalamm dan berkemah di hutan, dipantang sekali untuk membakar atau menggoreng belacan (terasi) konon jika dilanggar akan mendatangkan hariamau atau macan dan orang utan, adapun makluk tersebut merupakan binatang jadi-jadian atau jelmaan jin. Denagn membakar belacan yang beraaroma khas itu kemungkinan sangat menggangu mereka, demikian juga dipantang untuk membakar ikan kering dan ikan yang masih hidup di hutan. Akibatnya sama, diwaktu malam akan berdatanganlah segala hantu atau jin-jin yang menakutkan. Dibalik itu pesan yang terkandung adalah bagaiman kita mesti memberlakukan alam, untuk membakar belacan saja dipantang tentulah lagi jika membakar hutan, semua makhluk yang berdiam di hutan, apakah jin, hewan dan tumbuh-tumbuhan tentu akann terusik dan memberikan pelawanan.  Binatang-binatang akan ke luar dan menjadi bringas, jin-jin penghuni pohon-pohon besar akan menakut-nakuti demikian juga pohon-pohon yang terbakar akan tumbang dan menjadi rusak. Setelahnya bencana banjir dan lonsor bisa saja terjadi kapanpun. Lagipun di dalam hutan belantara kita tidak bisa seenaknya saja menerapkan hukum kita sebagai manusia. Penghuni binatang saja ada hukum rimba dintara mereka, demikin jugalah dengan yang lainya. Maka prilaku kitapun juga mesti dijaga. Bahkan ada petua jika kita memasuki daerah apapun yang kita belum pernah mendatanginy apa lagi di tengah hutan, orang tua memesankan agar kita berhati-hati di jalan, kemudian bila hendak mampir beristirahat, dan buang air besar atau kecil untuk meminta izin (permisi) terlebih dahulu. Meskipun di lahan itu tidak berpenghuni, diharapkan untuk berizin dan menyebut “nenek datok” (nenek dan kakek).  Seperti” nenek datok anak cucu numpang kencing”, (jika mau buang air kecil), “nenek datok anak cucuk numpang bermalam dan maok mendirikan pondok tolong janagan dikaco”. (nenek kakek kami selaku anak cucu memohon izin untuk bermalam dan menginap serta membangun pondok jadi tolong jangan ganggu kami). Ketika saya mengikuti suatu kegiatan untuk bermalam di tengah hutan, di luar Kabupaten Ketapang, saya diharuskan untuk membangun lapak (tenda darurat dari satu buah mantel hujan) kemudian diwajibkan bermalam ditempat itu dengan sendirian, lalu saya hanya bergantung pada penerangan api ungun yang dibuat, saya tersa sangat gelisah dan ada ketakutan juga. Api unggun tetap saya jaga, namun semakin banyak kayu  sebagai bahan bakar semakin cepat juga padamnya api itu dan meninggalakan bara di arangnya saja. Sebelum saya di tinggalakan oleh rekan-rekan panitia ditengah hutan yang saya tidak tahu sekali keadaan hutan itu, sebab sampainya sudah menjelang malam. Saya hanya minta kepada panitia yang ramai mengantar saya itu untuk membaca  surah Al-fatiha, adapun bacaan tersebut saya tawasulkan kepada Rasulullah SAW agar senantiasa mendapat syafaat Rasulullah. Lalu Al-fatiha yang kedua saya khususkan kepada Waliyullah Syek Abdul Qadir Jailani, kemudaia Al-fatiha yang ketiga saya khusukan untuk kedua orang tua saya, guru-guru, alim ulama’ serta kaum muslimin dan muslimat para ahli kubur. Kemudian apanitia pergi tinggalah saya dengan api ungun itu. Dalam keheningan malam saya teringatlah dengan petue (petuah) orang tua saya tersebut, maka saya berbicara sendirian saya hanya berkata” nenek datok saye anak cucuk numapang bermalam, saye ini jauh datang dari Ketapang adapun maksud saye hanyelah untuk menuntut ilmu dan mesti bermalam di hutan ini, janganlah kirenye saye diganggu dan jagekanlah saye dari gangguan yang laen”.  Pembicaraan itu mengalir begitu saja, lalu sayapun putusakan untuk tdur, dan begitu bangun diwaktu pagi ternyata saya di tempatkan di bawah pohon besar dan tidak jauh dari itu terdapat jurang yang sangat dalam dan berbatu. Saya berpikir betapa teganya panitia itu, untuyk mengantar saya ke tempat itu mereka beraninya dengan beramai-ramai, kemudian saya ditinggal sendirian sepanjang malam. Saya berpikir sebagai pengatar tidur diwaktu malam itu bahawa yang terdekat dengan saya betapa banyak pilihan, yang utama adalah Allah sebagi Tuhan, tidak mungkin saya akan meminta pertolongan kepada orang tua atau saudara saya yang jauh. Lagi pula segala perlengkapan komunikasi disita semua oleh panitia. Selanjutnya yang terdekat bisa saja bintang, jin dan pohon-pohon yang besar di hutan belantara, dan selanjutnya tentulah yang terdekat yaitu maut atau kematian. Jika sudah demikian kedekatan diri kepada Allah terasa sangat  romantis sekali. Selamat bermalam di hutan itu saya dipindah-pindahkan tempatnya, sewtiap saya berpindah tempat itulah yang saya lakukan. Seorang sahabat saya mesti diinapkan di rumah sakit terdekat karena tersengat kalajengkin, dan saya mesti memapahnya turun dari gunung dan membawanya keluar dari hutan. Saya heran padahal tempat yang ia tempati adalah bekas tempat saya juga tetapi memang sudah takdir Allah untuk menyengatkan kalajengking padanya. Dan dalam pengakuannya di pernah ketemu hantu pocong, selama kegiatan itu. Pertanyaan saya kenapa  hantu pcong ada di hutan belantara seharusany di pemakaman, pikir saya. Disaat saya memapahnya turun saya heran melihatnya, dia membawa botol air mineral lalu di dalamnya terdapat beras yang bercampur air, lalu saya tanya untuk apa? Dia menjawab untuk dimakan jika sudah masak, tentu saja sayapun heran dan memarahi dia juga, mana mungkin beras yang direndam dengan air di botol mineral bisa masak menjadi nasi jika tidak dipanaskan atau dimasak terlebuh dahulu. Setelah acara kegiatan itu selesai barulah saya mendapatkan informasi terkait tempat saya bermalam, ternyata di jurang dan pohon itu adalah merupakan tempat orang bunuh diri.   Nah demikian unik filosofis dari pantangan dalam berpergian itu. Tetaplah Allah SWT bersama kita. 12. Janganlah bacol (banyak komentar), jika kita melihat suatu keanehan yang di luar logika atau akal sehat bahkan hanya kita saja yang melihat keanehan itu, selalu dipesankan oleh orang tua untuk tidak bacol (berkomentar, runtut atau bertanya-tanya), apapun itu nikamati saja dan bicarakan dilain waktu jika sudah tidak berada di tempat itu lagi. Apalagi jika sedang berada di hutan, di laut janganlah sembarangan untuk berucap demikian juga bercanda. Apalagi jika menyebut hal-hal yang aneh dan seyogyanya tidak mungkin ada, sperti makanan dan minuman, maka itu akan menyebabkan “kempunan” (pamali) jadi jika tersebut dengan jenis  makanan yang gak mungkin ada sedangkan diri dalam kondisi beraktvitas katakanlah “pusak-pusak palet” sambil meludahkan air liur. Maksudnya hal itu hanya mengaharapi hati dan akan menganggu aktivitas kita, jadi kepikiran atau menghayal sehingga kegiatan kita menjadi tidak terfokus. Sehingga bisa menyebabkan kita lalai dan terkena musibah. Demikianlah maksud dari pantangan jangan bacol itu. Terkadang jika menyebut sembarangan pula, akan merakibat “kesambatan” (keteguran arwah, jin  atau kerasukan sehingga menjadi sakit). Hal inilah yang terkadang sering diakait-kaitkan pula bila sesoarang terlalu bacol, sehingga takabur, merasa drinya berani ataupun mampu dalam berbuat sesuatu yang lebih dan meremehkan sesuatu yang lain. Ini sanagt dipantang agar kita selalu menjaga adab kita dimanpun kita berda, perbanyaklah zikir atau mengucapakan kalimat thoyibah ketika menyaksikan hal-hal yang aneh atau beristigfar ketika terkagetkan dengan hal yang aneh dan misteri. Semuaan kekuasaan ada pada Allah SWT, orang-orang tua dahulu menyampaikannya dengan filosofis yang sangat tinggi sekali.
Dari hal-hal yang dipantang di Tanah Kayong Tanah Ketapang Kalimantan Barat sangtlah banyak, dilain waktu dan kesempatan akan saya sambung kembali untuk dapat diambil makna dan pembelajaran dan nilai-nilai yang terkandung di dalam pantangan itu.  
C.  Daerah Keramat Tujuh.
Pada daerah ini terdapat makam tertua yaitu makam keramat (karomah) sebanyak tujuah pasang nisan, bertulisakan Arab. Makam tersebut merupakan makam tujuh putri dan mempunyai rentetan sejarah yang sangat panjang. Dari sumber yang pernah saya dapatkan dikatakan pula bahwa makam itu hanyalah makam kosong tanpa zenajah tujuh putri tersebut. Hal itu dilakukan demi menolak pinangan dari seorang raja. Adapula yang mengatakan bahwa putri itu hanya seorang, namun makamnya saja yang berjumlah tujuh pasang. Terlepas dari bagaimanapun kisah yang semestinya, makam tersebut di keramatakan, karena mengandung karomah atau berkah. Banyaklah orang-orang berziarah sekedar menabur bunga dan berdo’a di makam tersebut. Bahkan konon makam Tanjung Pura atau mungkin juga pendiri Kodam Tanjung Pura, ataupun orang yang sangat disegani oleh kalangan militer ada di daerah Keramat Tujuh tersebut. Hal ini hanya berdasarkan temuan perjalanan safari saya saja. Kebenarannya ilmu pengetahuanlah yang akan mengupasnya.
D. Daerah Negeri Baru (Negri Baru)
Daerah ini juga terdapat makam keramat yang merupakan makam para tokoh penyebar agama Islam di Ketapang pada masa kerjaan dahulu. Makam tersebut dikenal dengan makam Keramat sembilan, karena makam tersebut berjumlah sembilan makam. Uniknya di makam ini terdapat “nisan tumbuh” yaitu setelah nisan tumbuh lagi nisan baru, dan tidak ada kepastian kejadiannya. Jelasnya makam tersebut bernisankan batu, lalu tumbuh lagi nisan baru yang menempel pada nisan yang lama. Lagi-lagi itulah makam yang dikeramatkan dan dianggap karomah atau berkah, selalu sajak nampak berbeda dan mempunyai kelebihan. Di makam ini seperti biasa terkadang diziarahi sekedar memanjatkan do’a serta membayar nazar. Terkadang ada  warga yang minta untuk dimandikan di area makam keramat ini, tetapi tidaklah pada nisan tersebut, agak jauh dari nisan terdapat sumur dan juag terkadang memang keinginan penziarah untuk dimandikan air do’a selamat di tempat itu sebagai penolak bala. Selain itu terdapat pula bekas runtuhan candi pada masa kerajaan, dan sekarang masih dalam kajian, yang jelas itu merupakan artefak yang bersejarah. Daerah negeri baru bukanlah daerah sembarangan, mempunyai kisah yang masyhur dalam perkembangan di telinga masyarakat dan menjdi cerita dari orang tua kepada anak-anaknya.  Samapai sekarang daerah Negeri Baru banyak memilki orang-orang yang ahli dalam pengobatan secara spritual maupun ilmu ghaib. Bisa dikatakan dukunya sangatlah kuat, sehingga jika dalam kehadiran peserta dari Negeri Baru mengikuti paertandingan apapun orang atau lawannya akan ciut, konon hanya bisa berlawanan dengan Daerah Kendawangan saja yang juga memilki ilmu perdukunan yang sangat kuat. Ini hanyalah paradigma yangberkembang pada masyarakat Ketapang saja, khusunya dari daerah sebrang Sungai Pawan. Jika hendak berobat dari penyakit kampung, karena terkena guna-guna bisalah untuk bertanya-tanya kepada orang-orang Negeri Baru untuk meminta bantuan pengobatan. Di daerah ini juga terkadang masih dilakukan pagelaran berobat kampong (kampung). Adapun cerita yang tersohor yang terkait perihal masyarakat Negeri Baru sebagaimana umumnya diceritakan yaitu, pada masa berkuasanya Gusti Muhammad Saunan raja yang bergelar Penembahan. Rakyat Negeri Baru melakukan pembangkangan atau pelanggaran terhadap pantang yang di tetapkan oleh Penembahan Saunan. Hal ini bermula tumbuhnya pohon tanjung  yang sangat besar sekali batangnya serta sangatlah luas dan lebar ukuran daunya, saking luasnya daerah Negeri Baru menjadi teduh dan lindung dari matahari, masyarakat menginginkan pohon tanjung tersebut untuk ditebang (dipotong agar tumbang). Karena masyarakat merasa sulit untuk mengeringakan pakaian dan juga mengeringan padi-padi hasil panen mereka. Untuk menjemur padi hasil panenya masyarakat Negeri Baru mesti mengayuh sampan dan menjemurnya di suatu pulau yang merupakan hamaparan padang yang luas, di padang yang luas itulah mereka membentangkan tikar-tikar sebagai alas menjemur padinya, adapun daerah padang tersebut sekarang terkenal dengan sebutan Padang Tikar dan telah menjadi bagaian dari Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat. Sewaktu saya ada kegiatan di daerah  Padang Tikar, masyarakatpun mengakui cerita tersebut dari turun temurun orang tua mereka. Bisa jadi asal usul masyarakat setempat adalah orang-orang Negeri Baru yang kemudian karena jauh jarakanya dengan Negeri Baru lalu bermukim dan berdiam di daerah Padang Tikar sehingga menjadi suatu daerah yang berpenduduk ramai. Kemudian permohonan masyarakat tidak dipenuhi oleh penembahan dan mereka masih tetap dipantang untuk menebang phon tersebut, dan jika mereka melanggar pantang dengan tetap  melakukan penebangan pohon tersebut mereka akan disumpahi tujuh turunan akan berkehidupan tidak baik atau melarat. Diam-diam masyarakat melakukan persekongkolann sesamanya untuk menebang pohon tersebut, namun dengan memakai senjata apapun pohon tersebut juga tidak dapat ditebang. Pohon itu jika malam berkemilau seperti emas dan indah sekali, namun sayang pohon itu menghalangi sinar matahari di daerah itu. Selain itu masyarakat yang ingin mendapatkan harta karun dibalik tumbangnya pohon itu juga membuat semangat masyarakat untuk menebanganya tanpa mengingat kembali pesan dan patangan dari Penembahan Saunan. Akhirnya ada diantara masyarakat yang mendapat “alamat” (petunjuk/ tanda melalui mimpi) bahwa pohon itu hanya bisa ditebang dengan menggunakan kapak yang terbuat dari emas. Berdasarkan alamat dari mimpi itu masyarakatpun melakukankan dan tumbanglah pohon tanjung tersebut. Sehingga berlakulah sumpah Penembahan Suanan tersebut, bahwa tujuh turunan masyarakat setempat tidak menemukan kesejahteraan. Ya, dahulu memang anggapan masyarakt sesui dengan relitanya keadan dan kondisi masyarakat sangat memprihatikan, jauh dari akses pendidikan dan kesehatan. Namun sekarang sumpah itu sudah usai kehidupan masyarakat mulai nampak ada kemapanan, sejak mulai berdirinya pusat industri perkayuan seperti somel masyarakat berangsur mempunyai pekerjaan. Sekarang rumah-rumah masyarakat sudah banyak yang indah dan kokoh. Demikianlah sekilas cerita yang masyahur tentang Negeri Baru yang dahulu dikenal dengan Benua Lama. Selain Negeri Baru, daerah yang terkait dengan pelnggaran terhadap pantangan yaitu daerah Sungai Jawi yang merupakan daerah pesisir tepian pantai arah selatan, konon hanya gara-gara tidak mau hormat ketika Penembahan Gustu Muhammad Saunan sedang lewat di depan mereka, masyarakat setemapat juga diberikan hukuaman tidakakan mendapatkan kenyamanan hingga tujuh turunan. Kebenaran dari cerita ini tentulah sulit adanya untuk dicari literatur yang jelasnya, yang jelas demikianlah peneuturan masyarakat yang pernah mendapatkan kisahnya dari orang-orang tua mereka. Betapa pentinganya unuk mematuhi pantangan yang sudah disepakati pada masa itu. Penembahan Gusti Muhammad Saunan sendiri, diceritakan sangatlah bijak dan pandai, bahkan mengenyam pendidikan yang sanagt tinggi hingga ke negeri Belanda, pembangunan istana sekarang, konon merupakan buah pemikirannya yang cemberlang, yang memadukan konsep Eropa dan Melayu, hal ini nampak dari segi bilik-bilik bangunan yang tidak seperti istana Melayu pada umumnya. Selain itu terdapat pula kaca yang berwarna- warni sebagai penghias pada atas istana yang berasal dari Eropa. Setai perkataan penembahan selalu terkabulakan, hal ini dianggap karomah olah rakyat Ketapang. Didengarkan pula dari kisah orang tua-tua lidahnya Penembahan itu  konon berwarna biru sebelah, jadi terkesan bijak dan aripnya ia memberikan amanah dan nasehat kepada rakyat yang dipimpinya. Pernah kejadian gara-gara ada salah seorang masyarakat yang lidahnya berwarna lain sebelah entah dikarenakan apa, lalu ada masyarakat yang mengatakannya Penembahan, kejadian itu sanagt menghebohkan dan samapi daibawa keranah hukum. Hal ini karena Penembahan Gusti Muhammad Saunan dianggap menghilang sejak tragedi penyungkupan atau pemenggalan kepala oleh Jepang di Landak. Sampai sekarang kehilangan Penembahan Gusti Muhammad Saunan menjadi misterius.
E. Daerah Kampung Arab
Derah ini sesui dengan namanya merupakan kumpulan mayorotas keturunan orang-oarang berdarah Arab. Ini menandkan akan keterbukaan orang-orang Ketapang dengan kehadiran para pendatang ataupun tamunya. Bisa jadi ini terjalin dengan baik dari hasil kerjasama perdagangan antara orang-orang pribumi dengan orang-orang asing atau Arab. Sehingga terjadilah asimilasi budaya dan kultur lainya. Jika hendak mencari kambing biasanya banyak terdapat didaerah ini, tentulah karena kebiasaan dan tradisi masyarakat Arab kebanyakan suka mengkonsumsi daging kambing walaupun ada juga yang tidak demikian.Orang-orang Arab yang laki-laki yang sudah tua sering dipanggil habib.
F.  Daerah Tuan-Tuan
Tuan-Tuan (tuan/ wan/ tuwan-tuwan) merupakan daerah mayoritas melayu, dahulu sanagt luas sekali daerah ini, namun sekarang sudah terpecah-pecah memisahkan diri menjadi desa atau kelurahan tersendiri. Tuan-Tuanpun sekarang telah menjadi Kelurahan. Di daerah Tuan-Tuan ini juga merupakan daerah kelahiran saya dan nenek moyang Ayah saya. Dahulu apabila kita bermain ketempat daerah lain di Ketapang ke luar daerah Tuan-Tuan, lalu ada orang menanyakan dari mana kita dan kita menjawab dari kampung Tuan-Tuan maka walaupun kita mempunyai nama pribadi yang bagus, tetap saja dipanggi “Wan”. Ini tidak terlepas dari karomah atau berkahnya daerah Tuan-Tuan, mengapa demikian? Karena daerah Tuan-Tuan merupakan kumpulan masyarakat yang mayoritas adalah Syarif dan Syarifah atau Ahlul Bait yang dikenal juga dengan Habaib. Mereka ini adalah disebut-sebut sebagai keturuan  Rasulullah SAW.  Setiap awal dari nama mereka untuk laki-laki akan dimulai dengan Syarif ditulis denagn singkatan Sy, sedangakan yang perempuan berawal dengan Syarifah ditulis dengan singkatan Syf. Syarif atau syarifah ini sebenarnya jika di Arabkan adalah ditulis atau disebut Sayyid (keturunan), hanya untuk Melayu yang ada di Ketapang, Suka Dana serta Pontianak Kalimantan Barat lebih terbiasa dan populer serta mengenal denagn sebutan Syarif dan Syarifah. Kemudian di belakang nama mereka akan disertakan pula nama marganya, karena walaupun sesama keturunan Rasulullah dan sama-sama syarif atau syarifah belum tentu mempunyai marga yang sama.Orang Syarif dan Syarifah sendiri mempunyai silsilah Alawiyyin keturunan Rasullah dari Al-Imam Al-Husein Radiyallahu Anhu. Sehingga mereka harus tahu sebagai penerus Alawiyyin berasal dari siapakah masing-masing leluhur mereka dan sejauh mana hubungan antara satu leluhur dengan leluhur lainnya, serta berapakah tingkatan masing-masing leluhur sampai ketingkat Nabi Muhammad SAW. Dipercayai di dalam Al-Qur’an  sangat erat sekali berdasarkan pengakuan mereka bahwa Nabi Muhammad SAW  sangat erat sekali hubungannya dengan pernyataan (pengakuan) Nabi Muhammad SAW atas Al-Imam Hasan dan Al-Imam Husein Radiyallahu Anhu beserta sekalian keturunannya adalah sebagai anak cucu Nabi Muhammad SAW.
Adapun Firman Allah yang diklaim sebagai landasannya yaitu:
Dalam surah An-Najam ayat 3-4, Al-Qashash ayat 56, Asy-Sura ayat 23, Al-Ahzab ayat 33. An-Nisa ayat 54, An-Nisa ayat 136, An-Nisa ayat 80, At-Taubah ayat 62.sedangkan berdasarkan Hadis Rasulullah diantaranya yaitu:Hadits riwayat Imam Ahmad dan Imam Hakim berasal dari Musawwar bin Makramah Radiyallahu Anhuma, menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya:” Fatimah adalah bagian dari diriku, siapa yang membuatnya marah akan membuatku marah, dan siapa yang menyenangkan dan melegakanya akan menyenangkan dan melegakanku. Sesungguhnya bahwa semua nasab akan terputus pada hari kiamat, kecuali nasabku dan sababku”. (Telaah Kitab Masnad Imam Ahmad dan Masnad Al-Hakim). Hadist riwayat Al-Imam Ahmad oleh Assyuyuthiy dalam kitab “Al-Jami’il Kabir” bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya:” Semua anak yang dilahirkan oleh ibunya bernasab kepada ayah mereka. Kecuali anak-anak Fatimah akulah wali mereka, akulah nasab mereka dan akulah ayah mereka”. (Muhammad Hasan Aidid 1999 Petunjuk Monogram Silsilah Berikut Biografi dan Arti Gelar Masing-Masing Leluhur Alawiyyin). Betapa kuatnya ikatan antara Syarif dan Syarifah sehinggauntuk di Tuan-Tuan pegangan dalam menjaga nasab atau ketrunan ini sangat kuat. Di kampung saya Tuan-Tuan itu bagi Syarifah (yang perempuan) tidak diperkenankan untuk menikah atau dinikahi oleh orang yang bukan Syarif atau keturunan Alul Bait, karena jika itu dilakukan berdosalah bagi mereka dan kedua orang tuanya itu serta akan dikucilkan dikalangan keluarga mereka sendiri. Inilah anggapan mereka. Mereka takut menanggung dosa alantaran perbuatan itu. Jadi wajar saja di daerah saya tersebut masih ada dan dapat ditemui wanita-wanita yang Syarifah itu belum juga bersuami sekalipun usianya sudah beranjak dewasa dan tua. Jika golongan laki-lakinya yang Syarif, mereka diperbolehkan untuk memperistri wanita-wanita yang bukan keturunan Ahlulbait, jika mereka menginginkannya. Pada ketentuanya adalah Syarifah dilarang keras, bahkan dikecam dan dikucilkan, bahkan tidak akan diakui sebagai anak dari orang tuanya, atau diusir dari kediaman rumah orang tuanya, sekalipun orang tuannya meninggal tidaklah mengapa baginya jika tidak dihadiri oleh anaknya itu. Hal ini seolah-olah bisa dikatakan haram hukumnya dinikahi oleh selain laki-laki yang Ahlulbait, hanya saja kata haram itu tidak pernah dikatakan oleh orangtua mereka. Dengan menikahnya perempuan Ahlul Bait dengan orang yang di luar Ahlul Bait sekalipun orang Arab atau asing tetapi selagi tidak Ahlul Bait, maka terputuslah nasab keturunanya.Sehingga orang tua dan siwanita tersebut merasa bersalah karena telah memutus perkembangan keturunan Rasulullah. Namun bagi laki-lakinya justru sah-sah saja dengan menikahi wanita yang bukan Ahlul Bait, maka anak keturunanya tetap mengikuti darah keturunan sang laki-laki yang Ahlul Bait. Alangkah lebih baik dan bagus lagi Syarif tetap menikahi wanita yang Syarifah juga sehingga lebih murni keturunanya. Gelar marga atau Syarif dan Syarifah itu hanya dapat diberikan atau diperoleh dengan jalur pernikahan yang menghasilakan anak, sehingga ketika menghasilkan anak. Anak tersebut layak menyandang marga Syarif jika laki-laki dan Syarifah jika perempuan. Walaupun laki-laki Ahlul Bait di Tuan-Tuan tersebut boleh menikahi perempuan dari kalangan manapun namun, mereka sangat selektif dalam memilih pasangan. Orang-orang Melayulah yang banyak menjadi istrinya, sehingga di Tuan-Tuan itu walaupun mereka Syarif dan Syarifah namun mereka juga mau diakui sebagai suku Melayu. Heran memang namun demikianlah adanya. Seharusnya dari persukuan itu mereka harus terang-terangan mengakui sukunya adalah Habsyi atau Hisyam mungkin juga Qurais,  sebagaimana asal usulnya suku moyangnya orang Arab.Di Ketapang Kelurahan Tuan-Tuan sangat sulit ditemui jika mereka menikah dengan Sukuselain Melayu. Tidak seperti di Pontianak yang ternyata banyak orang-orang Syarifnya memperistri wanita dari suku Madura, saya sendiri sebelumnya sangat kaget. Ternyata di Pontianak itu laki-laki Syarif terkadang memilki dua istri yang baiasanya istri keduanya adalah wanita Madura (kemungkinan karena besedia untuk dimadu) sehingga orang syarif dan Syarifah di Pontianak lebih lancar berbicara Madura. Untuk mengharagai panggilan kaum tua yang Syarif dan Syarifah yaitu, apabila Syarif yang sudah berusia lebih tua atau lanjut sering dipanggi dengan sebutan “Ami” yaitu (Bapak kemanakan/ bapak), sedangkan yang Syarifah berusia tua dipanggil “Ibu” (Bu). Orang Syarif dan Syarifah di Tuan-Tuan Ketapang sangatlah kuat juga dalam memegang syariat dan aturan dalam keseharianya. Namun seiringnya perkembangan hidup masyarakat dan pergaulan yang agak bebas dan berubah, sedikit banyak telah berpengaruh pada kehidupan generasi muda yang tidak lagi terlalu patuh pada estetika yang sudah berlangsung sejak zaman nenek moyangnya itu. Adapun marga Syarif dan Syarifah yang banyak ditemui di Tuan-Tuan Ketapang yaitu antaralain:
a.      Al-Aydrus
Yang pertama kali dijuluki (digelari) “Al-Aydrus” adalah Waliyullah Abdullah bin Abi Bakar Assakran bin Abdurrahman Asseggaf (dan seterusnya). Gelar Al-Aydrus berasal dari kata”Utaiyrus” yang dalam bahasa Indonesia berarti bersifat seperti macan atau singa, karena semasa kecilnya beliau berani menghadapi apapun (baik itu manusia, makhluk halus dan binatang buas). Beliu dilahirkan di kota Tarim pada bulan Dzulhijjah tahun 811 Hijriah, beliu dikaruniai lima orang anak laki-laki dan tiga diantaranya meneruskan keturunan beliau yang masing-masing dinamai: Alwi yang menurunkan keturunanAl-Aydrus; Al-Ahmad Al-Muhtabi. Keturunnanya berada di Bor, di Syam, di Dhafar (Hadramaut) dan di Jawa (Indonesia). Selanjutnya Husein yang menurunkan keturunan Al-Aydrus: Al Umar bin Zain, Al Tsibiy, Al Ma’igab, menurunkan keturunan Ahamd Syarim, Hasan bin Abdullah, Abbas bin Abi Bakar.
Kemudian anaknya yang bernama Syaich yang menurunkan keturunan Al-Aydrus; Asshalabiyyah dan Ali Zainal Abidin. Keturunan Alwi, Husein, dan Syaich bin Abdullah Al Aydrus selain berada di Timur Tengah, juga kebanyakan berada di Indonesia. Waliyyullah Abdullah bin Abi Bakar Assakran meninggal dalam perjalanannya ke kota Syihir menuju kota Tarim (Hadramaut)pada tanggal 12 Ramdhan 865 Hijriah. (Telaah Al-Mu’Jamul Lathif Halaman 140-141).
b.      Al-Aidid
Orang yang pertama kali digelari “Aidid” ialah waliyullah Muhammad Maulana Aidid bin Ali Al Huthah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi Ammil Faqih (seterusnya). Soal julukan yang disandang itu adalah karena beliau bermukim di disuatu tempat yang disebut”Dusun Aidid” yaitu dusun yang terletak di daerah pegunungan yang tidak jauh dari kota Tarim Hadramaut (Yaman, Timur Tengah). Berdasarkan sebuah kisah yang diriwayatkanoelh beberapa Leluhur Alawiyyin generasi ke 34 yang berada di Indonesia mengisahkan bahwa pada mulanya Dusun Aidid merupakan tempat yang sangat ditakuti oleh penduduk disekitarnya, karena banyak dihuni oelh makhluk halus yang jahat. Sehingga siapapun ke sana tidak akan bisa kembali lagi.  Pada suatu malam yang gelap gulita, penduduk melihat disekitar tempat tersebut diterangi cahaya yang terang benderang di atas dusun tersebut. Ternyata cahaya itu adalah cahaya seorang Waliyullah yang bernama Muhammad bin Ali Al Huthah.akhirnya dusun yang sangat ditakuti tersebut menjadi dusun yang sangat ramai, aman dan makmur. Dan diangkatlah Waliyullah Muhammad bin Ali Al Huthah: sebagai Peanguasa Dusun Aidid tersebut, dengan gelar “Muhammad Maulana Aidid”, maulana berarti penguasa. Muhammad Maulana Aidid dilahirkan di kota Tarim dan mempunyai enam anak laki, tetapi hanya tiga orang saja yang melanjutkan keturunanya yaitu; Abdullah dan Abdurrahman yang dijuluki Bafaqih yang kemudian menjadi leluhur Al Bafaqih. Sedangkan anak yang satunya lagi yang bernama Ali tetap di juluki Aidid yang kemudian menjadi leluhur Al Aidid. Waliyyullah Muhammad Maulan Aidid meninggal di kota Tarim 862 Hijriah. (Telaah Al Mu’Jamul Lathif halaman 141-142-143). Tertarik dengan ini, dan saya juga berdomisili di daerah Tuan-Tuan, nama saya yang tadinya Zunaidi, jika dipisah menjadi Zun dan Aidi, maka saya terkadang membaliknya menjadi Zunaidi Aidi Tuan-Tuan. Saya rasa tidaklah menyalahi demi menjaga marwah dari asal usul moyang saya yang berdiam di Tuan-Tuan. Lengkapnya saya adalah Zunaidi bin Nawawi bin Sedi bin Mat Ali Tuan-Tuan. Kakek saya mempunyai area makam tersendiri yang dikhususkan dan diwakafkan untuk keluarga besar kami, makam itu bertempat di daerah pesisir Bintang Musir Tuan-Tuan. Demikian juga nenek saya mempuanyai area makam, tersendiri juga yang diwakafkan khusus untuk keluarga dan turunan anak cucunya, adapun makamnya terletak di Kelurahan Desa Banjar. Sebelah Ibu saya juga demikian memilki makam khusus keluarga yang bertemapat di Desa Suka Baru, karena Ibu saya berasal dari dsa Suka Baru.  Namun saya heran saja ketika tidak ditemukan makam yang menghususkan bagi Syarif dan Syarifah  di Tuan-Tuan seperti makam khusus Uti dan Utin di Muliakerta.
c.       Al Haddad
Muhammad bin Abibakar bin Ahmad Masrafah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Marbad (seterusnya). Penyebab gelar ini adalah ada dua versi yaitu kerena beliau tukang pandai besi yang dalam bahasa Arab disebut Al Haddad, yang kedua versinya adalah sering dikatakan orang Al Haddadil Qulub artinya Pandai Kalbu. Maksudnya karena Waliyyullah Ahmad bin Abibakar Al Haddad bila berdakwah dalam menginsyafkan seseorang ke jalan yang benar dapat melemahkan kalbu (hati) seseorang itu sekalipun orang tersebut berkalbu (berhati) yang keras bagaikan besi. Waliyyullah Ahmad Al Haddad tak ubahnya sebagai seorang Pandai Besi yang dapat melunakkan besi yang keras. Beliau dilahirkan di kota Tarim hanya mempunyai seorang anak laki-laki yang dinamai Alwi. Diantara keturunannya generasi yang ke-31 adalah waliyyullah Al Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad yang tersohor dengan Ratib Al Haddad nya. Al Habib Abdullah bin Alwi  Al Haddad bersaudara dengan Waliyyullah Al Habib Umar bin Alwi  Al Haddad. Kedua-duany tidaklah pernah datang ke Indonesia, adapun yang menurunkan keturunannya di Indonesia adalah anak cucunya generasi ke-33. Keturunan Al Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad yang berada di Indonesia kebanyakkan berada di  Jawa Timur, sedangkan keturunan Al Habib Umar bin Alwi Al Haddad kebanyakan berad di Pasar Minggu  Jakarta.(Termasuk diantaranya Al Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad). Waliyyullah Ahmad bin Abi Bakar bin Ahmad Al-Masyrafah meninggal pada tahun 870 Hijriah. (Telaah Al Mu’Jamal Lathif halaman 81). Ini membuat keheranan bagi saya mengapa Syarif dan Syarifah tidak membiasakan memanggil sesamanya dengan sebutan Habib, justru malah orang di Kampung Arab yang kebanyakan dipanggil Habib.
d.      Al Asseggaf
Yang dijuluki Asseggaf adalah Waliyyullah Abdurrahman bin Muhammad Mauladdawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad Al Faqih Al Muqaddam (seterusnya). Gelar itu disandangkan karena beliau diketahui sebgai pengayom para wali pada zamannya. Diibaratkan sebagai atap (piyan) bangunan, yang dalam bahasa Arab disebut Sagfun. Beliau sendiri sebenarnya berusaha menutupi kebesaran martabatnya itu, (karena twaddunya), namun para wali di zaman itu memproklamasikan beliau sebagai pemimpin dan pembimbing para wali. Belai dilahirkan di kota Tarim Hadralmaut (Yaman Timur Tengah), dikaruniai 13 anak laki-laki dan 7 anak perempuan. Dari 13 anak laki-laki tersebut hanya 7 orang yang melanjutkan ketrunanya yaitu:
Abubakar, Alwi, Ali, A’qil, Abdullah, Husein, Ibrahim. Beliau meninggal di kota Tahrim pada tahun 819 Hijriah. Banyak sekali gelar-gelar yang di sandang oleh Ahlul Bait itu, untuk mengetahuinya apa marganya terkadang dapat dilihatnya dari belakang namanya. Jadi di Tuan-Tuanorang Syarif dan Syarifah akan mencantumkan Syarif dan syarifah di depan namanya lalu gelar marga setelah namanya. Seperti nama guru besar saya Syarif Yusuf Al Hadad dan Syarif Muhammad Zain Al Haddad. Adapun nama-naman marga yang lain yaitu:Al-Adani, Al-Bin “Aqil, Al-Ba’ aqil, Al-Attas, Al- Auhuj, Al-Ba’bud, Al-Bar, Al-Bayati, Al-Bahar, Al-Barrum, Al-Babirik, Al-Cherrid, Al- Chaneman, Al- Chumur, Al- Maulana Chailah, Al- Maulan Dawilah, Al- Djamalullail, Al- Bin Djindan, Al- Djufri, Al- Djunaid Achdor, Al- Djunaid, Al-Fad’Aq, Al- Ba Faqih, Al- Bil Faqih, Al- Ba Faraj, Al- Abu Futhaim, Al- Gadriy, Al- Bal Ghoits, Al-Habsyi, Al-Haddar, Al- Hadi, Al- Hamid Inat, Al- Hiyyid, Al- Ba Nahsan, Al- Bahsin, Al- Hinduan, Al- Ba Harun, Al- Al-Kaf, Al- Muhdar, Al- Mahjub, Al- Masyhur, Al- Marzaq, Al- Masyhur Marzaq, Al- Mugebel, Al- Musyayach, Al- Musawa, Al- Munawar, Al- Madihij, Al- Muthahhar, Al- Nadzir, Al- Abu Numay, Al- Rachilah, Al- Ba Ragbah, Al- Asseriy, Al- Bin Semith, Al- Bin Sahil, Al- Ba Surroh, Al- Shalabiyyah, Al-Shafi, Al- Syahab, Al- Syathiry, Al- Basyeban, Al- Syaich Abi Bakar, Al- Basymeleh, Al- Bin Thahir, Al- Bin Yahya, Al- Zahir. (Muhammad Hasan  Aidid 1999:1-85). (bersambung…..) Oleh Zunaidi Tuan-Tuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SYAIR GULUNG bukanlah hanya menjadi hiburan sesaat tanpa bekas, melainkan pada lirik-lirik baitnya banyaklah mengandung nilai-nilai pendidikan dan pesan moral atau estetika dalam kehidupan sosial, berbangasa dan juga beragama yang sangat menyentuh.