Kabupaten
Ketapang adalah merupakan daerah yang harmonis dan masyarakatnya hidup
berkerukukanan dengan berbagi macam etnis atau suku dan agama.dari sejak dahulu
kala Ketapang merupakan wilayah yang terbuka dengan kehadiran para tamu.
Dikatakan oleh tokoh sepuh Raja Gusti Kamboja, pada tahun 977 M berdasarkan
kronik China Chu Fan Chi, Kerajaan Tanjung Pura sudah melakukan hubungan
dagang dan diplomatik ke Kerajaan China semasa Dinasti Sung dengan mengirim
tiga orang utusan. Orang-orangh berbangsa India, China, Arab, Eropa dan
berbagai suku bangsa nusantara pernah mengunjungi bahkan menetap di Ketapang,
yang dulunya dikenal dengan nama Tanjung Pura dan Matan. Begitu juga
hubungannya dengan Malaka pada abad ke-15. Para pedagang dari Tanjung Pura
disediakan petugas syahbandar khusus di pelabuhan Malaka demikian juga
sebaliknya. Sebagaimana dicatat ahli obat-obatan Portugis, Tome Pires tahun
1512 M ketika singgah di pelabuhan pardagangan Malaka.( Makalah Gusti Kamboja, 2011:1).
Dalam
sejarahnya yang dapat ditemukan dalam buku-buku sejarah tentang Kerajaan
Tanjung Pura dapatlah dikemukakan bahwa, sebelum berdirinya Sriwija pada abad ke-17
M wilayah geografis Ketapang adalah merupakan salah satu neegeri tertua di
Nusantara. Pada perjalanannya daerah ini menjadi ekspedisi atau tujuan perjalanan dan tempat
persinggahan mulai dari Syailendra, Sriwijaya dengan ekspedisi Pamalayu,
Singosari, Majapahit, Mataram dan semasa Kolonial Belanda. Pada masa Majapahit,
Tanjung Pura pernah dijadikan Ibu Kota Negara Bagian untuk Wilayah Borneo (Tanjung Negara) hal ini sebagaiman
dinyatakan dalam Prasasti Waringin Pitu (1447) dan naskah Negara Kertagama.
Tidak menuntut kemungkinan Ketapang suatu saat akan menjadi negeri yang besar, dengan daerahnya yang luas dan kaya akan sumber daya alamnya jika ditopang lagi dengan sumber daya manusianya yang arib bijak laksana, berpengetahuan agama dan berwawasan ilmu penetahuan serta iman dan taqwa yang tinggi serta siap berdaya saing dan mandari insyaallah dengan penuh betuah dan karamah Ketapang akan menjadi suatu Provinsi Baru Di Kepulauan Kalimantan ini. Bisa jadi nama yang cocok sesui kejayaannya adalah Tanjung Pura, atau provinsi Tanjung Pura, saya sendiri optimis tentang itu berangkat dari hati atau niat yang ikhlas tanpa tunggangan kepetingan politik tentunya. Di ketapang sendiri sekarang terdapat peninggalan bersejarah, terkait saksi
bisu tentang kejayaan Kerajan Tanjung Pura serta bagaimana karomahnya
orang-orang sepuh Ketapang pada masa dahulunya, adapun tempat yang banyak
menyimpan perjalanan sejarah Tanjung Pura yaitu:
A. Daerah
Tanjung Pura. (Tanjung
Pure)
Suatu perkampungan di tepian Sungai Pawan yang mengarah ke daerah
perhuluan Ketapang. Pada tempat ini terdapat makam raja-raja Tanjung Pura
beserta para mentri dan pembesar-pembesar kerajaan ataupun keluarga kerajaan.
Jalan menuju makam sanagt jauh dari ibu kota
Kabupaten Ketapang, sebelum samapai ke pemakaman kita akan menemukan
jalan yang terputus, jalan tersebut terputus karena ada rawa yang tergenang
air, apabila munsim penghujan atau air sungai pawan pasang, maka akan tergenang
dan banjirlah jalan itu. Sehingga untuk melewatinya mesti memakai perahu sampan
yang disedikan oleh msyarakat setempat dan memberi uang sebagai pembayaran jasa
yang tidak cukup besar. Untuk mempermudah akses menuju makam dan daerah Tanjung
Pura tersebut pemerintah telah berusaha untuk menutup rawa tersebut dengan
menimbunya pakai tanah. Namun menjadi omongan masyarakat dan rahasia umum,
serta maha kuasa Allah SWT, ternyata walau sudah menghabiskan banyak kubik
tanah untuk menimbunnya, rawa tersebut tidak juga dapat ditimbun, padahal
luasnya tidaklah seberapa. Pasair yang dimasukan bertruk-truk besar jumlahnya,
tetap saja tidak bisa di timbun. Bahkan tanah tersebut hilang tanpa bekas,
tanpa diketahui. Selanjutnya dibangunkan pula jembatan sebagai alternatif
selanjutnya, namun lagi-lagi menjadi aneh tetapi nyata, ternyata ketika
tiang-tiang penyangga jembatan hendak di tanjapkan, terjadi keanehan, berapapun
panjang tiang yang ditancapkan selalu saja terpendam dengan dalam, seolah-olah
ada yang menariknya ke dalam tanah, lagi-lagi hilang tanpa berbekas. Ini adalah
kisah yang sudah menjadi perbincangan masyarakat paada umumnya. Namun bisa saja
srtuktur tanah tersebut memang labil atau ada faktor lain yang menyalahi dalam
pekerjaannya. Hingga sekarang hal tersebut masih bersifat misteri.
Terdapat juga Lapangan Khalwat, yaitu lapangan yang menjadi
tempat raja-raja Tanjung Pura pada masa dahulu utuk menyendiri, konon katanya
tempat itu adalah merupakan pintu gerbang tau jalan menuju demensi dunia lain,
bahkan ada yang mempercayai ulama-ulama terdahulu dengan kebersaihan batinya dan taat beribadah serta
adanya karomah, bisa sampai ke Mekkah untuk berhaji ataupun sembahyang Jum’at kesana
melalui jalan tersebut
Maka adakalanya pada
hari-hari tertentu dan biasanya pada hari lebaran Idul fitri (Lebaran
Puase…red orang Melayu Ketapang) bahkan juga lebaran Haji (Idul Adha)
dan hari-hari lainnya, masyarakat Ketapang melakukan jiarah makam, berdo’a
serta bayar niat, yaitu ketika terkabulanya apa yang diinginkan kepada Allah
SWT, maka ada kalanya masyrakat berniat akan menjiarahi makam raja-raja Tanjung
Pura sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah dan sunnah Nabi serta mengingat kematian. Terkadang apabila
kunjungan masyarakat bertepatan dengan waktu salat, maka mereka akan salat di
lapangan Khalwat tersebut baik sendiri ataupun berjamaah.
Selain itu terdapat pula sumur atau kolam pemandian putri raja,
namun sumur itu tidak terawat dan apabila musim kemarau tidak berair sama
sekali. Terdapat pula sumur yang airnya diyakini mujarab untuk penyembuhan
segala macam penyakit, sumur tersebut dinamai Sumur Sapu Jagat.
Konon katanya iar tersebut tidak akan kering walaupun dimusim kemarau. Airnya
sangat jernih. Terkadang penjiarah makam menyempatkan untuk mandi, serta
membawa pulang air tersebut dengan bertempatkan dirigen ataupun bertemaptkan
botol air mineral, lalu tempat tersebut akan di tempelkan tulisan yang menerangkan bahwa air itu adalah
air Sapu Jagat.
B. Derah Mulia Kerta (Mulie Kerte)
Di daerah ini berdiri Istana peninggalan Kerajaan Matan yang
merupakan dekgradasi Kerajaan Tanjung
Pura.
Istana tersebut berdiri
dengan kokoh dan masih menyimpan sedikitnya barang-barang antik peninggalan
Kerajaa Tanjung Pura, seperti adanya meriam berukuran kecil dikenal dengan
sebutan Meriam Padam Pelita, konon katanya jika meriam tersebut dibunyikan akan
dapat memdamkan api pelita yang menyala.
Di dalam istana juga
menyimpan foto-foto tokoh-tokoh kerajaan serta berbagai macam guci buatan dari
China, adapula pakaian kebesaran raja-raja.
Tidak jauh dari istana terdapat pula makam raja-raja yang
memerintah selam di istana tersebut, komplek pemkaman ini menjadi pemakaman
khusus untuk orang-orang yang mewarisi darah raja yang bergelar Uti untuk yang
laki-laki di depan namanya, dan bergelar Utin untuk perempuan juga dipakai di
depan namanya, apabila mereka meninggal maka akan dimakamkan pada komplek
pemakaman raja tersebut.
Di depan istana tersebut terpampang falsapah kerjaan Tanjung Pura
yang meruapakan kata-kata petuah dan disegani untuk selalu dinggat oleh
masyarakat setempat.
Kata tersebut mengandung makna tersendiri dan mempunyai nilai-nilai
moral dalam kehidupan bersosial yang sangat tinggi. Mustike Indah Jaye Sempure
(Mustika Indah Jaya Sempurna) dipahami sebagai motivasi hidup, mustika adalah
benda atau barang berharga seperti batu permata, mustika itu bermacam-macam
bentuk dan warnanya, batu mustika itu biasanya menjadi perhiasan mahkota raja,
perhiasan istri atau putri raja. Bahkan di Suka Dana ada pedang peninggalan
kerjaan yang gagang pedang beserta sarungnya dihiasi oleh batu mustika yang
berwarna merah kemilau. Jika batu mustika itu berwarana meraha walupun kecil
ukuranya, jika di masukkan ke dalam gelas yang berisi air putih yang jernih dan
bersih, dan disediakan tujuh buah gelas kaca yang transparan, maka ketika batu
itu di masaukakan ke gelas yang paling ujung susunannya, akan dapat dilihatlah
cahaya mustika merah itu menembus enam gelas yang tersusun rapat tersebut. Batu
mustika dikatakan pula batu yang hidup, maksudya batu-batu itu memilki kekutan
gaib, menjadi media bagi jin untuk bertempat, sehingga untuk mendapatkannya
terkadang dengan cara ritual atau orang-orang tertentu saja. Itulah batu
mustika yang dimaksudkan.( Menurut Zunaidi Tuan-Tuan). Siapa saja boleh untuk
membuat pemaknaan dan penterjemahan denagn bijak dan ad keterkaitanya. Wajarlah
jika mustika menjadi simbul dalam menggambrakan keagunggan ciptaan Allah yang
apapun itu sangat berharga ketika Allah yang menciptakan. Orang-orang dalam
kehidupanya terkadang merasa tidak sempuran jika hidup tanpa harta benda. Maka
oleh karena itu dengan kebijak sanaan kata tersebut seolah menjadi penginggat
bagi kita bahwa sesutu yang dianggap indah bisa saja membuat diri dipandang
dengan sempurna sebagai ciptaan Allah SWT. Namun pada realitanya tidaklah ada
manusia yang sempurna selain berbekal akal atau pikiran yang baik sebagai hamba
Allah. Selain itu tiada pula manusia yang tidak bersalah. Sedangkan termuatnya
kalimat “Dilupakan Pantang Dilangkah Tulah”, ini mempunyai makna bahwa adat
istiadat dan budayanya orang Ketapang sangatlah keras. Ini berkaitan dengan
filosofi orang Melayu, Melatu taiad hilang ditelan zaman, Melayu selalu menjaga
marwah atau nama baik, Melayu besendikan syara’, dan syara’ bersendikan
kitabullah (Al-Qur’an Dan Hadis Rasulullah). Apapun itu dianggap sebagai
pantangan sehingga tidaklahboleh untuk
dilupakan, jika terlupakan bearti akan ada pelanggaran dan setiap pelanggaran
akan mendapat konsekuensi tulah tau karma baik itu berupa kesialan atau
penyakit atau cemoohan dari masyarakat. Dalam hal ini petuah-petuah
(Petue-petue) orang tua atau sesepuh sangatlah dipegang kuat. Sekalipun kita
berpendidikan dan bersekolah tinggi tetap saja masyarakat menuntut kepatuhan
kita terhadap estetika yang berlaku di daerah Ketapang, bahasanya adalah petuah
lebih tinggi dari pada ilmu (Petue lebeh tinggi dari pade ilmu). Ini sangat suatu kesepakatan umum yang sudah
mengakar dan tidaklah dipermasalahkan. Jadi tidaklah heran untuk bertahan di
Ketapang mesti patuh terhadap apa yang menjadi pantangan masyarakat setempat.
Banyak sekali larangan atau pantangan yang selalu dipegang dan menjadi warisan
turun temurun. Kemungkinan itulah kemahiran orang-orang tua-tua terdahulu dalam
mendidik anak-anaknya, padahal mereka tidak bersekolah tinggi, tetapi terkait
moral atau estetika sosial mereka mampu mengajarkanya kepada generasi muda.
Melalui adat istaiadt dan budayalah, agama serta pembentukan moral generasi
muda bisa dikenalkan sejak dini. Adapun petuah-petuah atau pantangan itu
sendiri sangatlah banyak, dan setiap pantanagan itu terdapat nilai-nilai
penedidikan dan pembentukan moral manusia, serta mengatur hubungan manusia
dengan sesama makhluk dan juga kepada Allah SWT secara langsung. Diantara pantangan itu dan hanya bersumber
dari kisah-kisah orang tua dan terkadang juga dari para pendatang di Ketapang yang
juga mereka patuh dan percaya diantaranya adalah: 1. Apabila
baru datang ke tanah Ketapang, maka memberi salam dan bershalawatalah kepada
Rasulullah ketika memasuki Ketapang. Tidak jelas pula mesti memberi salam
kepada siapa, namun sutu kepercayaan yang dibentuk atas dasar keyakinan bahwa
disetiap dermaga Ketapang selalulah ada penjaganya yang bersifat ghaib. Tentu
ini tidak pula lalu dikatakan mistik atau tahayaul karena secara dasar
keyakinan, kitapun yakin adanya dunia dan keberdaan makhluk lain selain manusia.
Kosekuensinya adalah bila tidak patuh, maka suatu hari ada musibah yang menimpa
pendatang, yang sulit untuk dijelaskan secara logis atau akal masyarakat akan
mengaitkan kejadianya degan hal tersebut. Ini sudah menjadi rahasia umum bahkan
para pendatang saling mengingatkan sesama pendatang. Seolah-olah mereka sudah
paham tentang pantangan di Ketapang.2. Bagi
pendatang apabila ditanya, banyak kah membawa bungkusan? Maka jawablahlah bahwa
bungkusan anda tidak banyak. Walaupun pada kenyataanya bungkusan atau barang
yang dibawa sangat banyak sekali. Mengapa demikian? Karena adapun yang dimaksud
“bungkusan” itu adalah ilmu pengetahuan atau ilmu kanuragan ataupun kemampuan
kita terkait kekeuatan indra keenam atau seperti kemampuan para normal. Jika
banyak “bungkusanya” berti kita banyak membawa bekal, dan orang yang menanya
berkeinginan untuk mengujinya. Nanti banyaklah perkara yang sengaja di
buta-buat sebagai awal keselisihan paham. Dengan demikian akan terjadilah
hal-hal yang sulit pula untuk dijelaskan secara ilmiah apa yang terjadi pada
kita. Terkadang ada yang tiba-tiba sakit ataupun menjadi bungkam. Namun apapun
yang terjadi tidaklah berbahaya selagi tidak ada perlawanan baik secara
kekuatan sebgai manusia maupun kekuatan gaib, cukuplah untuk meminta maaf atas
ketidak tahuan kita dengan apa yang dimaksud oleh si penanya. Demikian ini
mengandung nilai moral betapa kita tidak boleh menyembong diri atau takabur,
bahkan merasa punya ilmu yang sagat luas dan tinggi. Kita dipinta untuk ramah,
baik, dan sederhana dalam penampilan dengan masyarakat. Maka tidak heran jika
ada anggapan bahwa di Ketapang itu banyak ilmunya, dan banyak pula orang sakit
yang bukan karena medis tetapi karena “penyakit kampung” yaitu perselisihan
paham serta hubungan yang tidak haromonis dengan rekan dan sesamanya. Dengan
segala cara terkadang dipakai untuk membalasnya. Jika demikian benarlah istilah
yang mengatakan ilmu orang Ketapang adalah “ilmu telur masak mentah”. Maksudnya
yaitu jika ia menyakiti maka penyembuhannyapun ada pada orang yang menyakiti
tersebut. Sekalipun dokter atau dirawat di rumah sakit maupun “dukun-dukun
kampung” (Tabib atau orang pandai) yang mengobati terkadang susah juga.
Lagi-lagi kita dituntun untuk berprilaku baik dengan siapapun jangan sembarang
berbicara atau berprilaku dan berbuat, karena bisa jadi ada yang tersinggung
dalam diam dan tidak suka dengan kecongkakkan kita. 3. Kempunan
jika menolak tawaran makan. Maksudnya jika kita ditawari untuk mencicipi suatu hidangan baik
itu makanan atau minuman. Dalam arti kata kita di diajak untuk memakan makanan
yang ditawarkan atu yang telah terhidag maka berusahalah untuk memkannya, jika
sudah tersa kenyang atau daya tahan perut tidak mampu maka katakan itu
sebenaranya, dan menolaklah dengan halus dengan cicipilah sedikit saja,
walaupun hanya sesendok saja, jika tidak juga, maka sentuhkan ujung jari tangan
kita pada makanan dan minuman yang ditawarkan itu atau di colet saja. Makanan
yang umumnya seperti itu adalah jika ditawari kopi, nasi ataupun kue-kue
jajanan. Bila tidak dilakukan maka, setiap kejadian atau yang menimpa kita
setelah menolak tawaran tadi tanpa mencicipi atau mencoletnya selalu
dikait-kaitkan. Bahkan mereka akan mengatakan nanti “kempunan” (Pamali bahasa
Jawanya) nanti ketabarak motor, atau jatuh
dan lain sebagainya. Tentu saja itu adalah perkataan atau ucapan yang
mengandung energi yang negatif. Ingatlah Allah adalah sesui dengan prasangka hambanya.
Perkataan itu tentu juga termasuk kalam atau do’a dan berpengaruh pada yang
mendengarnya. Jika terjadi kecelakaan maka wajar saja karena mendapat do’a yang
tidak bagus, sugesti negatif akan ditransfer pada kita yang cuek dengan tawaran
makanan itu. Pesan moralnya tentu kita dipinta untuk
menghargai pemberian dan buatan orang lain. Sebagai tamu si tuan rumah sudah
berusaha untuk menjamu tamunnya dengan kemampuan yang dia miliki walaupun hanya
sekedar air putih dan kopi. Kita harus berpikiran postif terhadap apapun yang
terjadi. Jika kita berprasangka tidak baik pula terhadap “kempunan” itu maka
kita mendapatkan energi yang negatif dan sepenuhnya perlindungan dan kekusaan
itu ada pada Allah SWT. Hargai seperti apapun pemberian orang lain dan berikan
penolakan yang santun jangan mengatakan tidak enak dan tidak sesui selera,
tentu ini menyakiti persaan sipemberi pula. 4. Jangan
duduk di depan pintu (Lawang), ya ini benar saja jika dilakukan tentu yang
lewat mau masuk ke dalam rumah jadi bersusah payah. Karena dihadang si yang
duduk di depan puntu. Namun bijaknya orang tua dahulu dan menyadari daya
tangkapa berpikirnya masa anak-anak mengatakan jika duduk di depan pintu nanti
kalu sudah besar baik dara atau bujang akan susah mendapatkan jodoh. Jik anak
perempuan sudah gadis maka dipinta balang katanya, maksudnya mau dipinang laki-laki tau-tau
dibatalkan begitu saja. Kita mungkin paham makna dari pantangan ini. Sebagaimana saya
kemukakan di atas. Memang tidaklah sewajaranya kita untuk duduk-duk di depan
pintu, baik selagi kecil maupun setelah dewasa dan tua. Apalagi jika dudukny
melunjurkan kaki higga jadi penghalang. Perilaku ini seperti ratapan atau
meratap, seperti tertimpa musaibah ataupun memikirkan dan menghayal yang
bukan-bukan. Karena pada umumnya duduk di depan pintu hanya dilakukan sendiri
dan kebiasaannya adalah melamun serta memperhatikan gerak-gerik orang yang
berlalu lalang. Jika perempuan dihawatirkan menggoda hati orang-orang yang
lewat pula. Bahkan jika ada yang mau mampir untuk bertamu menjadi sungkan dan
enggan karena ada yang menghadangi pintu. Seingga saya diwaktu kecil orang tua
saya sangat marah sekali jika melihat saya duduk didepan pintu dan emnghadainya
lewat, pernah dicubit sampai menangis pula, dan dinasehati untuk tidak
menghalangi pintu atau menghambat masuknya orang. Jika dulu rumah-rumah orang
Ketapang kebanyakan adalah berlantai tingggi dan mempunyai satu tangga yang
tinggi pula, maka sudah semestinya kita dilarang duduk di depan pintu atau
menyantai di tangga rumah. Namun sekarang dengan pembangunan yang makin
berkembang rumah-rumah yang minimalis dan berbagi bentuk terkadang sudah ada
serambi atu terasnya, jadi duduk di teras rumah menjadi salah satu solusi untuk
menikmati suasana. 5. Pantang
menduduki bantal nanti bisul. Demikianlah juga merupakan salah satu pantang,
kita dilarang untuk menduduki bantal yang seyogyanya menjadi alas kepala jika
sedang baring atau tidur. Oarang tua zaman dahulu paham betul bagimana
menanamkan nilai moral pada anaknya melalui simbul-simbul. Bayangkan saja,
jangankan mau mempermainkan kepala manusia atau
mengetok kepala orang lain, untuk menduduki bantal saja kita dilarang.
Sungguh sangat menakutkan jika hanya gara-gara menduduki bantal saja pantat
menjadi bisul, tentulah tidak akan ada yang mau melakukannya. Pesannya
sangatlah jelas, kepala sebagai mahkota manusia sebagai makhluk ciptaan Allah
SWT yang dianggap sempurna karena memuat akal dan pikiran. Bisa membedakan mana
yang baik dan manapula yang buruk, baik untuk dilakukan maupun tidak pantas
untuk dipikirkan. Hanya kepada Allah SWT lah kepala boleh diturunkan dan
dipatuhkan, atas pengakuan kita kepada Allah maka kita wajib untuk bersudu
dalam ibadah salah dengan meninggikan bagian pantat dari pada kepala (posisi
sujud). Banyangkan maha kuasaNya Allah, kepala yang berisi akal dan pikiran itu
dihadapan Allah bisa lebih rendah dari pada tempat keluarnya kotoran kita. Maka
janganlah sombong dan selalu angkuh sebagai manusia yang hanya bermodal akal dan pikiran. Sekarang ini
kita mungkin heran saja jika melihat anak-anak muda nongkrong dan duduk di
tepian jalan atau asyik-asyik berkumpul sambil duduk-duduk, mereka malah
menjadikan helm penutup kepalanya untuk dijadikan tempat duduk menopang
pantatanya. Sekilas mungkin tiadak masalah, namum dalam menempuh dan menerapkan
akhlak yang baik, estetika yang santun dan kehidupan generasi muda yang
berkarakter, mereka mestilah untuk dikenalkan dengan makna simbol-simbol dalam
kehidupan mereka. 6. Jangan
baring di tempat terbuka nanti dilangkah antu panjang. Semasa saya kecil ini
sangat menyeramkan, dan sangat tidak terbiasa untuk berbaring di tempat
terbuka, selain di kamar atau di dalam rumah. Berbaring di tempat terbuka yaitu
di tempat yang tidak beralas atau berlantai, dan tidak beratap. Tentulah tidur
demikian sulit untuk dilakukakan,dalam hal berbaring dan mau tidur saja orang
tua-tua dahulu yang tidak mengenyam pendidikan formal atu perguruan tinggi tau bagaimana memperhatikan
dan mengajarkan bagaimamana selayaknya kita untuk tidur. Entahlah bagaiman
bentuk hantu (antu) panjang itu, konon katanya itu adalah makluk gaib sejenis jin, berambut panjang, berbadan
dan berkaki panjang. Makanya disebut hantu panjang. Hantu itu akan melangkahi
kita, atau mengangkangi kita, atau merasuki kita dalam mimpi. Sehingga
terkadang katanya jadi kemasukan. Namun bagi kita yang berintelek dan tau
bagaimana penejlasan ilamiahnya, tidaklah terfokus pada hantu panjangnya, lebih
dari itu kita menggali nilai-nilai pendidikan yang masih ada dan penguat
sebagai tradisi dan buadaya bagi masyarakat Ketapang. Tidaklah banyak orang
muda yang masih athu permasalahan pada nilai-nilai tatanan ini. Jika semua
terjebak pada istilah tahayul dan mistik maka seharusnyalah budaya dan adat
istiadat itu tidak ada lgi di muka bumi ini. Hanya keterbatasan kita untuk menggali
pesan moral yang disampaikan itulah yang membuat kita terjebak denagn istilah
itu. Tugas kitalah untuk memberikan penjelasan yang logis dan ilmiah semampu
yang kita bisa. 7.
Jangan
mandi melawan arus, bila hendak mandi di sui Pawan Ketapang memang jangan mandi
melawan arus sungai. Kita tidak perlu bertanya panjang lebar mengapa dan kenapa
demikian. Ketika saya berliburan ke tempat kediaman kawan saya di perhuluan
sungai Pawan, tepatnya di desa Randau Jungakal Kecamatan Sandai Kabupaten
Ketapang (merupakan kawasan terbesar di Kalimantan Barat pembalakan hutan yang
terekspos oleh media masa nasional dan lokal) Ayah saya berpesan “ jangan mandi
melawan arus” ya wajar saja di sana itu airnya sangatlah deras sekali, sehingga
wajar saja tidak ada yang mampu mandi menghadap arus yang lejangnya seperti
“peluru” tersebut. Tak heran jika ada pantun bagi orang Melayu Ketapang” Sungai
Pawan airnye deras, banyak kayu melintang pukang. Orang Ketapang ilmunye keras,
banyak pendatang yang dak bise pulang”. Demikian juga ada anggapan jika
keperhuluan Ketapang berahati-hatilah terkena penyakit “kura” jadi siangnya
saya dipesankan oleh Ayah saya jang tidur siang. Begitu saya keperhuluan
Ketapang saya jadi tahu tentang pantangan itu, jika mandi melawan (menghadap)
arus sungai, bisa-bisa saya akan terbawa arus sungai dan sulit untuk menepi
atau menemukan pegangan, belum tentu juga hanyut mendapatkan kayu yang
terapung. Bisa-bisa mati tenggelam atau di makan buaya, bahkan konon katanya
ditapukan “bengkik” (Disembunyikan hantu air bernama bengkik), katanya hantu
bengkik itu hantu air yang berambut pirang panjang dan kadang menjelma atau
meyerupai seperti orang yang kita kenal. Hantu tersebut kedua tangannya berbeda
ukuran, jika kita tertangkap oleh tangannya yang panjang kita masih ada
kemungkinan lepas, jika tertangkap tangannya yang pendek maka tidak ada lagi
kemungkinan untuk lepas ataupun lari. Tangan pada bagian mana yang panjan atau
pendek sanagt tidak ditemukan penelusurannya. Setidaknya kita percaya bahwa jin
dan sebangsanya ada yang berdiam di bumi Allah yang luas ini, apakah di
daratan, laut ataupun sungai dan hutan belantara. Katanya bengkik itu hanya
memakan semangat ( syahwat) kita ketika di air dengan menakuti. Bayangkan saja
sudah mau tengelam di air malah ada jin
yang menakut-nakuti, tentulah akan membuat daya tahan tubuh di air jadi
berkurang. Makanya dalam Islam ada do’a dalam setiap beraktifitas apapun. Jika
kita tidur siang di daerah perhuluan tentu itu akan membuat badankaita menjadi
sakit, apa pasalnya karena perkampungan yang masih asri dan banyaknya hutan
atau semak belukar dan pohon besar di dekat perumahan warga membuat
nyamuk-nyamuk kecil bergrelia mencari mangsa. Nah itulah peyebab pantangan
tidur siang itu, nyamuk malairia sangat akatif di siang hari. Tetapi bagi
masyarakat yang daya tahan tubuhnya sudah kuat dan terbiasa bagi mereka
biasa-biasa saja, bagi kita tentu harus mempertimbangkannya jika mau tidur
diwaktu siang. Itulah menjadi lasan mengapa kebanyakan orang-orang yang tidak tahan pergi dan
menginap ke perhuluan Ketapang akan sakit atau muntah darah jika pulangnya.
Efek dari semua itu dikenallah penyakit “Kura” untuk sembuh terkadang mesti di
urut (dipijit) oleh orang yang ahli dalam pemijitan penyakit kura tersebut.
Selain itu juga disebabkan setetika pendatang yang tidak bersahabat dengan
masyarakat pribumi di perhuluan atau di perkampuang. 8. Bepajang
(berbuang-buang). Berpajang yaitu suatu ritual yang dilakukan pada saat
upacara-upacara tertentu. Seperti ketika hendak mau melakukan hajatan
pernikahan dengan acara yang besar. Pada prosesi berpajang banyaklah pantangan
yang dilakukan prosesi dipimpin oleh seorang dukun kampung. Sebenarnya
berpajang ini hampir sama dengan tolak bala’ memaki tepung tawar. Namun
berpajang lebih melibatkan bantuan demensi lain, maksudnya mempekerjakan jin
sebagai makhluk gaib. Itu untuk menjaga prosesi acara yang berhajatan besar
agar berjalan dengan lancar. Kemudian diharapkan pula pada saat acara
barang-barang pecah belah yang dipinjam atau kepunyaan si tuan rumah tidak
pecah atau tidak rusak, serta tidak ada gangguan dari dukun-dukun kamapung lain
yang jahil atau orang yang iri dengan digelarnya acara yang sedang berlangsung.
Sebab terkadang ada saja pada masa dahulu orang-orang yang jahil untuk
mengacaukan acara. Biasanya itu pekerjaan dukun lain yang mau mengetes
kemampuan dukun yang dipakai si tuan rumah, atau juga orang lain yang dendam dan
iri hati. Terkadang sewaktu hajatan nasi yang sudah dimasak berjam-jam di dalam
dandang menjadi tidak masak. Ada-ada saja cara mereka untuk mengacaukannya,
konon katanya apabila seekor katak dimasukan ke dalam tempurung (katak yang di
tutupi tempurung) lalu di dekatkan di dekat tungku memasak yang tidak
kelihatan, maka nasi yang yang ditanak tidak akan masak-masak, dan tutup panci
(periuk/ dandang) tersebut akan melompat-lompat saja seperti bagaimana kodok
yang hendak melompat di dalam tempurung tersebut. Terkadang ada juga yang nakal
dengan mencampurkan jenis tanaman biji-bijian seperti kacang ke dalam masakan
yang sedang dimasak dengan diam-diam tanpa ketahuan si pemasak atau tukang
rempah. Dapun jenis tanaman tersebut disebut dengan nama “belangkin” tanaman
ini jenis biji-bijian seperti biji kacang, berhasiat untuk membersihkan kotoran
di dalam perut. Jika susah buang air besar, memakan sebutir saja maka akan
memulaskan perut. Namun jika terlalu banyak akan sangt berbahaya sekali, apalgi
jika mata tunas di biji belangkin itu tidak dibuang. Nah blangkin inilah yang
sering di pakai orang untuk membuat sakit perut undangan yang memakan makanan
yang telah disajikan tuan rumah, sudah barang tentu tuan rumah akan mendapat
cemooh dari para undangan walaupun tidak secar langsung, jadi bahan pembicaraan
dan lain sebagainya. Untuk mengatasi sakit perut karena blangkin ini petuanya
orang-orang terdahulu yaitu dengan meminum air kelapa muda, ataupun denagn
meminum air rendaman dari kerak nasi yang dimasak, kerak nasi itu direndam dengan air lalu airnya diminum. Apabila
nampak berbahaya maka seharusnyalah untuk merujuk ke rumah sakit, dihawatirkan
bisa dehedrasi atau kekurangan cairan. Blangkin banyak tidak diketahui orang,
karena malas untuk bertanya dan membahasnya. Padahal tanaman ini sangat
bermanfaat dan funsinya tergantung pula bagi yang menggunakannya. Demikianlah
mengapa sebagian masyarakat masih mengunakan prosesi berpajang sebelum acara
digelar. Dukun akan membaca mantara sebagai pelindung, lalu membuang sesajen ke
suangai atau di hutan belakang rumah, kemudian ada sesutu barang yang akan
dipendam di bawah tiang dapur rumah, biasanya telur dan barang pecah belah
seperti gelas dan piring (pinggan) barang itu lagi-lagi dimantrai. Setelah
selesai acara pajang itu dicabut kembali, istilahnya adalah tidak dipakai dan
lagi-lagi sang dukunlah yang akan melakukan prosesinya. Sesiring dengan
perkembangan zaman tradisi berpajang sudah ditinggalkan hanya diaderah tertentu
saja yang masih memakianya, hal ini karena telah terjadi asimilasi budaya
dengan ajaran agama yang menjadi batasan boleh dan tidak menurut agama. Inilah
hebatanya tolerasi budaya orang bijak yang mesti patuh pada ajaran agama dan
tidak mau mempertentangkannya. Sekarang masyarakat lebih suka mengundang orang-orang
untuk membaca surah Yasin dan membaca do’a selamat. Lalu air do’a selamat itu
sebagi air tolak bala’ di mandikan, disiramkan pada rumah, sebagian lagi
disiramkan ke peralatan dapur yang pecah belah tersebut. Dengan demikian
permohonan keselamatan dan pertolongan semata-mata diharap hanya kepada Allah
SWT. 9. Jangan
menoleh ketika membuang tembunik (ari-ari bayi), setiap bayi yang lahir akan
beriringan dengan tembuniknya (ari-ari).
Petuanya dalam memberlakukan tembunik (ari-ari) bayi yang akan dibuang yaitu,
tembunik tersebut mesti telah tercuci dengan bersih, dukun beranaklah yang
mahir dalam mengemas dan embersihkannya. Tembunik itu dianggap sebagi teman
atau saudara bagi si bayi yang setia menemaninya hingga lahir. Jadi dianggapalh
mesti memberlakukanya dengan baik pula. Untuk membuang tembunik tersebut ada
dengan cara menghanyutkannya pada sungai atau air yang mengalir, ada yang
memendamya di dalam tanah di depan rumah atau perkarangan atau di tiang tongkat
samping rumah, lalu ada pula yang di masukan ke dalam bakul (keranjang anyaman
dari daun pandan berukuran kecil) kemudian bakul itu di gantung di atas cucuran
atap (kaki atap) rumah bagian luar.
Semua itu tergantung dari bagaimana aturan dari orang tua sang suami, adatnya adalah mengikuti sang suami.
Jika saya tembuniknya mesti dihanyutkan ke air yang mengalir yaitu sungai. Dan
yang membuangnya di utamakan kepada sang Ayah, jika tidak siapaun boleh selagi
paham dan tau caranya. Ketika tembunik itu dibuang, maka tembunik itu diajak
berbicara, kita mengucapkan terimakasih dan berharap kondisi bayi baik-baik
saja. Kita tidak menggap membuangnya
melainkan telah menempatkanya pada tempat yang layak, yaitu di air agar terus
hidup dan mengalir. Ketika tembunik itu telah tenggelam terbawa arus maka sewaktu
beranjak meninggalkannya dipantang untuk menolehnya kemabali (tidak boleh
melihat ke arah tembunik yang telah dibuang) karena konon akan membuat mata si bayi kelak menjadi juling
dengan pandangan yang tidak normal, dan jika tembunik itu tidak diberlakukan
dengan baik terkadang bayi akan sering sakit dan “merange” (gelisah, menangis,
susah ditidurkan). Bila tembunik itu di pendan di dalam tanah terkadang di
tutupi terlebuh dahulu dengan sesutu yang membuat rongga di dalam tanah, jadi
tidak semerta-merta ditimbun pakai tanah. Kemudian diberi rongga udara dan jika
malam dikasi penerangan lampu, pelita atau lilin. Hal ini menggambarkan
bagaimana selayaknya manusia mengharagai dengan baik oragan tubuhnya, ataupun
sesuatu yang merupakan sumber kehidupan, tidak mencampakannya demikian saja.
Norma-norma itulah yang berusaha disamapaikan oleh para pendahulu orang-orang
tua dahulu untuk keberlangsungan generasinya melalui adat istiadat yang telah
mengakar. 10. Jangan
menunjuk kuburan denagan jari telunjuk nanti putus, ada-ada saja tetapi inilah
keunikan pendidikan moral dan estetika orang terdahulu kepada generasi muda,
bayangkan orang yang sudah tiada atau meninggal dunia dan hanya nampak tiang
nisannya saja, kita dipantang untuk menunjuknya. Apalagi jika pada orang yang
masih hidup. Kita tahu mungkin, bagaimana filosofis tentang jari telunjuk itu,
suka memerintah dan menunjuk saja tanpa mau tahu permasalahan orang lain dan
terkesan angkuh, jari jempol itu selalu sebagai pemberi nilai, jika bagus
dikasi jempol mengajung ketas, jika tidak diberi jempol yang mengacung ke
bawah, seangakan jari tengah selalu melakukan penghasutan pada jari telunjuk.
Angkuh karena tinggi dan bisa membuat aorang menjadi kurang ajar. Tidak seperti
jari manis yang ramah dan bersahaja, jadi wajar saja jika jari manis lebih
layak mendapatkan pengharagaan seperti tempat pemasangan cincin pernikahan,
manis dan indah sekali. Sedangkan jari kelingking selaluj teguh memegang janji
setianya, walaupun kecil ia mempunyai tanggung jawab atau amanah yang besar.
Jika kita hendak berjanji jari kelingkinglah yang senantiasa dipertemukan
sewaktu kecil. Nah jika semua jari adalah telunjuk atau jempol dan seragam
semua tentu menjadi tidak indah, walau berbeda-beda tetapi saling melengkapi
dan membantu kekurangan satu dengan yang lainya. Maka janganlah melakukan hal
yang sia-sia denag telunjuk kita, apalagi hanya sekedar menunjukan kuburan yang
jelas di depan mata kita. Dengan tanda adanya batu nisan, siapapun tau bahwa
itu adalah kuburan. Dengan demikin setidaknya salah satu cara juga untuk
menghargai, menghormati orang yang telah meninggal dunia. Bila sudah terlanjur
melakukan penunjukan terhadap kuburan tersebut, maka gigitlah jari telunjuk itu
lalu ludahkan air liur kita setelah menggigitnya. Itu gambaran sebagai rasa
bersalah dan tidak akan mengulanginya lagi. Mungkin ini juga yang menjadi
alasan terkadang ada orang yang menunjukan sesutu dengan mulutnya yang di
muncungkan sembil mengangkat kepala dan dagu atupun dengan cara yang lainnya.
Jika orang-orang jawa mempersilahkan sesuatu dengan mengacungkan jempolnya
sebagai suatu bentuk kesopanan kepada tamu dan orang lain. 11. Dipantang
membakar belacan (terasi) di dalam hutan belantara. Jika kita hendak bekerja di hutan untuk menggesek (memotong) pohon
ataupun kerja merimbak (melapangkan) hutan untuk lahan pertanian ataupun untuk
bermalamm dan berkemah di hutan, dipantang sekali untuk membakar atau
menggoreng belacan (terasi) konon jika dilanggar akan mendatangkan hariamau
atau macan dan orang utan, adapun makluk tersebut merupakan binatang
jadi-jadian atau jelmaan jin. Denagn membakar belacan yang beraaroma khas itu
kemungkinan sangat menggangu mereka, demikian juga dipantang untuk membakar
ikan kering dan ikan yang masih hidup di hutan. Akibatnya sama, diwaktu malam
akan berdatanganlah segala hantu atau jin-jin yang menakutkan. Dibalik itu
pesan yang terkandung adalah bagaiman kita mesti memberlakukan alam, untuk
membakar belacan saja dipantang tentulah lagi jika membakar hutan, semua
makhluk yang berdiam di hutan, apakah jin, hewan dan tumbuh-tumbuhan tentu
akann terusik dan memberikan pelawanan.
Binatang-binatang akan ke luar dan menjadi bringas, jin-jin penghuni
pohon-pohon besar akan menakut-nakuti demikian juga pohon-pohon yang terbakar
akan tumbang dan menjadi rusak. Setelahnya bencana banjir dan lonsor bisa saja
terjadi kapanpun. Lagipun di dalam hutan belantara kita tidak bisa seenaknya
saja menerapkan hukum kita sebagai manusia. Penghuni binatang saja ada hukum
rimba dintara mereka, demikin jugalah dengan yang lainya. Maka prilaku kitapun
juga mesti dijaga. Bahkan ada petua jika kita memasuki daerah apapun yang kita
belum pernah mendatanginy apa lagi di tengah hutan, orang tua memesankan agar
kita berhati-hati di jalan, kemudian bila hendak mampir beristirahat, dan buang
air besar atau kecil untuk meminta izin (permisi) terlebih dahulu. Meskipun di
lahan itu tidak berpenghuni, diharapkan untuk berizin dan menyebut “nenek
datok” (nenek dan kakek). Seperti” nenek
datok anak cucu numpang kencing”, (jika mau buang air kecil), “nenek
datok anak cucuk numpang bermalam dan maok mendirikan pondok tolong janagan
dikaco”. (nenek kakek kami selaku anak cucu memohon izin untuk bermalam dan
menginap serta membangun pondok jadi tolong jangan ganggu kami). Ketika saya
mengikuti suatu kegiatan untuk bermalam di tengah hutan, di luar Kabupaten
Ketapang, saya diharuskan untuk membangun lapak (tenda darurat dari satu buah
mantel hujan) kemudian diwajibkan bermalam ditempat itu dengan sendirian, lalu
saya hanya bergantung pada penerangan api ungun yang dibuat, saya tersa sangat
gelisah dan ada ketakutan juga. Api unggun tetap saya jaga, namun semakin
banyak kayu sebagai bahan bakar semakin
cepat juga padamnya api itu dan meninggalakan bara di arangnya saja. Sebelum
saya di tinggalakan oleh rekan-rekan panitia ditengah hutan yang saya tidak
tahu sekali keadaan hutan itu, sebab sampainya sudah menjelang malam. Saya
hanya minta kepada panitia yang ramai mengantar saya itu untuk membaca surah Al-fatiha, adapun bacaan
tersebut saya tawasulkan kepada Rasulullah SAW agar senantiasa mendapat syafaat
Rasulullah. Lalu Al-fatiha yang kedua saya khususkan kepada Waliyullah
Syek Abdul Qadir Jailani, kemudaia Al-fatiha yang ketiga saya khusukan
untuk kedua orang tua saya, guru-guru, alim ulama’ serta kaum muslimin dan
muslimat para ahli kubur. Kemudian apanitia pergi tinggalah saya dengan api
ungun itu. Dalam keheningan malam saya teringatlah dengan petue (petuah) orang
tua saya tersebut, maka saya berbicara sendirian saya hanya berkata” nenek
datok saye anak cucuk numapang bermalam, saye ini jauh datang dari Ketapang
adapun maksud saye hanyelah untuk menuntut ilmu dan mesti bermalam di hutan
ini, janganlah kirenye saye diganggu dan jagekanlah saye dari gangguan yang
laen”. Pembicaraan itu mengalir
begitu saja, lalu sayapun putusakan untuk tdur, dan begitu bangun diwaktu pagi
ternyata saya di tempatkan di bawah pohon besar dan tidak jauh dari itu
terdapat jurang yang sangat dalam dan berbatu. Saya berpikir betapa teganya
panitia itu, untuyk mengantar saya ke tempat itu mereka beraninya dengan
beramai-ramai, kemudian saya ditinggal sendirian sepanjang malam. Saya berpikir
sebagai pengatar tidur diwaktu malam itu bahawa yang terdekat dengan saya
betapa banyak pilihan, yang utama adalah Allah sebagi Tuhan, tidak mungkin saya
akan meminta pertolongan kepada orang tua atau saudara saya yang jauh. Lagi
pula segala perlengkapan komunikasi disita semua oleh panitia. Selanjutnya yang
terdekat bisa saja bintang, jin dan pohon-pohon yang besar di hutan belantara,
dan selanjutnya tentulah yang terdekat yaitu maut atau kematian. Jika sudah
demikian kedekatan diri kepada Allah terasa sangat romantis sekali. Selamat bermalam di hutan
itu saya dipindah-pindahkan tempatnya, sewtiap saya berpindah tempat itulah yang
saya lakukan. Seorang sahabat saya mesti diinapkan di rumah sakit terdekat
karena tersengat kalajengkin, dan saya mesti memapahnya turun dari gunung dan
membawanya keluar dari hutan. Saya heran padahal tempat yang ia tempati adalah
bekas tempat saya juga tetapi memang sudah takdir Allah untuk menyengatkan
kalajengking padanya. Dan dalam pengakuannya di pernah ketemu hantu pocong,
selama kegiatan itu. Pertanyaan saya kenapa
hantu pcong ada di hutan belantara seharusany di pemakaman, pikir saya.
Disaat saya memapahnya turun saya heran melihatnya, dia membawa botol air
mineral lalu di dalamnya terdapat beras yang bercampur air, lalu saya tanya
untuk apa? Dia menjawab untuk dimakan jika sudah masak, tentu saja sayapun
heran dan memarahi dia juga, mana mungkin beras yang direndam dengan air di
botol mineral bisa masak menjadi nasi jika tidak dipanaskan atau dimasak
terlebuh dahulu. Setelah acara kegiatan itu selesai barulah saya mendapatkan
informasi terkait tempat saya bermalam, ternyata di jurang dan pohon itu adalah
merupakan tempat orang bunuh diri. Nah
demikian unik filosofis dari pantangan dalam berpergian itu. Tetaplah Allah SWT
bersama kita. 12. Janganlah
bacol (banyak komentar), jika kita melihat suatu keanehan yang di luar logika
atau akal sehat bahkan hanya kita saja yang melihat keanehan itu, selalu
dipesankan oleh orang tua untuk tidak bacol (berkomentar, runtut atau
bertanya-tanya), apapun itu nikamati saja dan bicarakan dilain waktu jika sudah
tidak berada di tempat itu lagi. Apalagi jika sedang berada di hutan, di laut janganlah
sembarangan untuk berucap demikian juga bercanda. Apalagi jika menyebut hal-hal
yang aneh dan seyogyanya tidak mungkin ada, sperti makanan dan minuman, maka
itu akan menyebabkan “kempunan” (pamali) jadi jika tersebut dengan jenis makanan yang gak mungkin ada sedangkan diri
dalam kondisi beraktvitas katakanlah “pusak-pusak palet” sambil meludahkan air
liur. Maksudnya hal itu hanya mengaharapi hati dan akan menganggu aktivitas
kita, jadi kepikiran atau menghayal sehingga kegiatan kita menjadi tidak
terfokus. Sehingga bisa menyebabkan kita lalai dan terkena musibah. Demikianlah
maksud dari pantangan jangan bacol itu. Terkadang jika menyebut sembarangan
pula, akan merakibat “kesambatan” (keteguran arwah, jin atau kerasukan sehingga menjadi sakit). Hal
inilah yang terkadang sering diakait-kaitkan pula bila sesoarang terlalu bacol,
sehingga takabur, merasa drinya berani ataupun mampu dalam berbuat sesuatu yang
lebih dan meremehkan sesuatu yang lain. Ini sanagt dipantang agar kita selalu
menjaga adab kita dimanpun kita berda, perbanyaklah zikir atau mengucapakan
kalimat thoyibah ketika menyaksikan hal-hal yang aneh atau beristigfar
ketika terkagetkan dengan hal yang aneh dan misteri. Semuaan kekuasaan ada pada
Allah SWT, orang-orang tua dahulu menyampaikannya dengan filosofis yang sangat
tinggi sekali.
Dari hal-hal yang dipantang di Tanah Kayong Tanah Ketapang
Kalimantan Barat sangtlah banyak, dilain waktu dan kesempatan akan saya sambung
kembali untuk dapat diambil makna dan pembelajaran dan nilai-nilai yang
terkandung di dalam pantangan itu.
C. Daerah Keramat Tujuh.
Pada daerah ini terdapat makam tertua yaitu makam keramat (karomah)
sebanyak tujuah pasang nisan, bertulisakan Arab. Makam tersebut merupakan makam
tujuh putri dan mempunyai rentetan sejarah yang sangat panjang. Dari sumber
yang pernah saya dapatkan dikatakan pula bahwa makam itu hanyalah makam kosong
tanpa zenajah tujuh putri tersebut. Hal itu dilakukan demi menolak pinangan
dari seorang raja. Adapula yang mengatakan bahwa putri itu hanya seorang, namun
makamnya saja yang berjumlah tujuh pasang. Terlepas dari bagaimanapun kisah
yang semestinya, makam tersebut di keramatakan, karena mengandung karomah atau
berkah. Banyaklah orang-orang berziarah sekedar menabur bunga dan berdo’a di
makam tersebut. Bahkan konon makam Tanjung Pura atau mungkin juga pendiri Kodam
Tanjung Pura, ataupun orang yang sangat disegani oleh kalangan militer ada di
daerah Keramat Tujuh tersebut. Hal ini hanya berdasarkan temuan perjalanan
safari saya saja. Kebenarannya ilmu pengetahuanlah yang akan mengupasnya.
D. Daerah Negeri Baru (Negri Baru)
Daerah ini juga terdapat makam keramat yang merupakan makam para
tokoh penyebar agama Islam di Ketapang pada masa kerjaan dahulu. Makam tersebut
dikenal dengan makam Keramat sembilan, karena makam tersebut berjumlah sembilan
makam. Uniknya di makam ini terdapat “nisan tumbuh” yaitu setelah nisan tumbuh
lagi nisan baru, dan tidak ada kepastian kejadiannya. Jelasnya makam tersebut
bernisankan batu, lalu tumbuh lagi nisan baru yang menempel pada nisan yang
lama. Lagi-lagi itulah makam yang dikeramatkan dan dianggap karomah atau
berkah, selalu sajak nampak berbeda dan mempunyai kelebihan. Di makam ini
seperti biasa terkadang diziarahi sekedar memanjatkan do’a serta membayar
nazar. Terkadang ada warga yang minta
untuk dimandikan di area makam keramat ini, tetapi tidaklah pada nisan
tersebut, agak jauh dari nisan terdapat sumur dan juag terkadang memang
keinginan penziarah untuk dimandikan air do’a selamat di tempat itu sebagai
penolak bala. Selain itu terdapat pula bekas runtuhan candi pada masa kerajaan,
dan sekarang masih dalam kajian, yang jelas itu merupakan artefak yang
bersejarah. Daerah negeri baru bukanlah daerah sembarangan, mempunyai kisah
yang masyhur dalam perkembangan di telinga masyarakat dan menjdi cerita dari
orang tua kepada anak-anaknya. Samapai
sekarang daerah Negeri Baru banyak memilki orang-orang yang ahli dalam
pengobatan secara spritual maupun ilmu ghaib. Bisa dikatakan dukunya sangatlah
kuat, sehingga jika dalam kehadiran peserta dari Negeri Baru mengikuti
paertandingan apapun orang atau lawannya akan ciut, konon hanya bisa berlawanan
dengan Daerah Kendawangan saja yang juga memilki ilmu perdukunan yang sangat
kuat. Ini hanyalah paradigma yangberkembang pada masyarakat Ketapang saja,
khusunya dari daerah sebrang Sungai Pawan. Jika hendak berobat dari penyakit
kampung, karena terkena guna-guna bisalah untuk bertanya-tanya kepada
orang-orang Negeri Baru untuk meminta bantuan pengobatan. Di daerah ini juga
terkadang masih dilakukan pagelaran berobat kampong (kampung). Adapun cerita
yang tersohor yang terkait perihal masyarakat Negeri Baru sebagaimana umumnya
diceritakan yaitu, pada masa berkuasanya Gusti Muhammad Saunan raja yang
bergelar Penembahan. Rakyat Negeri Baru melakukan pembangkangan atau
pelanggaran terhadap pantang yang di tetapkan oleh Penembahan Saunan. Hal ini
bermula tumbuhnya pohon tanjung yang
sangat besar sekali batangnya serta sangatlah luas dan lebar ukuran daunya,
saking luasnya daerah Negeri Baru menjadi teduh dan lindung dari matahari,
masyarakat menginginkan pohon tanjung tersebut untuk ditebang (dipotong agar
tumbang). Karena masyarakat merasa sulit untuk mengeringakan pakaian dan juga
mengeringan padi-padi hasil panen mereka. Untuk menjemur padi hasil panenya
masyarakat Negeri Baru mesti mengayuh sampan dan menjemurnya di suatu pulau
yang merupakan hamaparan padang yang luas, di padang yang luas itulah mereka
membentangkan tikar-tikar sebagai alas menjemur padinya, adapun daerah padang
tersebut sekarang terkenal dengan sebutan Padang Tikar dan telah menjadi
bagaian dari Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat. Sewaktu saya ada kegiatan di
daerah Padang Tikar, masyarakatpun
mengakui cerita tersebut dari turun temurun orang tua mereka. Bisa jadi asal
usul masyarakat setempat adalah orang-orang Negeri Baru yang kemudian karena
jauh jarakanya dengan Negeri Baru lalu bermukim dan berdiam di daerah Padang
Tikar sehingga menjadi suatu daerah yang berpenduduk ramai. Kemudian permohonan
masyarakat tidak dipenuhi oleh penembahan dan mereka masih tetap dipantang
untuk menebang phon tersebut, dan jika mereka melanggar pantang dengan
tetap melakukan penebangan pohon
tersebut mereka akan disumpahi tujuh turunan akan berkehidupan tidak baik atau
melarat. Diam-diam masyarakat melakukan persekongkolann sesamanya untuk
menebang pohon tersebut, namun dengan memakai senjata apapun pohon tersebut
juga tidak dapat ditebang. Pohon itu jika malam berkemilau seperti emas dan
indah sekali, namun sayang pohon itu menghalangi sinar matahari di daerah itu.
Selain itu masyarakat yang ingin mendapatkan harta karun dibalik tumbangnya
pohon itu juga membuat semangat masyarakat untuk menebanganya tanpa mengingat
kembali pesan dan patangan dari Penembahan Saunan. Akhirnya ada diantara
masyarakat yang mendapat “alamat” (petunjuk/ tanda melalui mimpi) bahwa pohon
itu hanya bisa ditebang dengan menggunakan kapak yang terbuat dari emas.
Berdasarkan alamat dari mimpi itu masyarakatpun melakukankan dan tumbanglah
pohon tanjung tersebut. Sehingga berlakulah sumpah Penembahan Suanan tersebut,
bahwa tujuh turunan masyarakat setempat tidak menemukan kesejahteraan. Ya,
dahulu memang anggapan masyarakt sesui dengan relitanya keadan dan kondisi
masyarakat sangat memprihatikan, jauh dari akses pendidikan dan kesehatan.
Namun sekarang sumpah itu sudah usai kehidupan masyarakat mulai nampak ada
kemapanan, sejak mulai berdirinya pusat industri perkayuan seperti somel
masyarakat berangsur mempunyai pekerjaan. Sekarang rumah-rumah masyarakat sudah
banyak yang indah dan kokoh. Demikianlah sekilas cerita yang masyahur tentang
Negeri Baru yang dahulu dikenal dengan Benua Lama. Selain Negeri Baru, daerah
yang terkait dengan pelnggaran terhadap pantangan yaitu daerah Sungai Jawi yang
merupakan daerah pesisir tepian pantai arah selatan, konon hanya gara-gara
tidak mau hormat ketika Penembahan Gustu Muhammad Saunan sedang lewat di depan
mereka, masyarakat setemapat juga diberikan hukuaman tidakakan mendapatkan
kenyamanan hingga tujuh turunan. Kebenaran dari cerita ini tentulah sulit
adanya untuk dicari literatur yang jelasnya, yang jelas demikianlah peneuturan
masyarakat yang pernah mendapatkan kisahnya dari orang-orang tua mereka. Betapa
pentinganya unuk mematuhi pantangan yang sudah disepakati pada masa itu.
Penembahan Gusti Muhammad Saunan sendiri, diceritakan sangatlah bijak dan
pandai, bahkan mengenyam pendidikan yang sanagt tinggi hingga ke negeri
Belanda, pembangunan istana sekarang, konon merupakan buah pemikirannya yang
cemberlang, yang memadukan konsep Eropa dan Melayu, hal ini nampak dari segi
bilik-bilik bangunan yang tidak seperti istana Melayu pada umumnya. Selain itu
terdapat pula kaca yang berwarna- warni sebagai penghias pada atas istana yang
berasal dari Eropa. Setai perkataan penembahan selalu terkabulakan, hal ini
dianggap karomah olah rakyat Ketapang. Didengarkan pula dari kisah orang
tua-tua lidahnya Penembahan itu konon
berwarna biru sebelah, jadi terkesan bijak dan aripnya ia memberikan amanah dan
nasehat kepada rakyat yang dipimpinya. Pernah kejadian gara-gara ada salah
seorang masyarakat yang lidahnya berwarna lain sebelah entah dikarenakan apa,
lalu ada masyarakat yang mengatakannya Penembahan, kejadian itu sanagt
menghebohkan dan samapi daibawa keranah hukum. Hal ini karena Penembahan Gusti
Muhammad Saunan dianggap menghilang sejak tragedi penyungkupan atau pemenggalan
kepala oleh Jepang di Landak. Sampai sekarang kehilangan Penembahan Gusti
Muhammad Saunan menjadi misterius.
E. Daerah Kampung Arab
Derah ini sesui dengan namanya merupakan kumpulan mayorotas
keturunan orang-oarang berdarah Arab. Ini menandkan akan keterbukaan
orang-orang Ketapang dengan kehadiran para pendatang ataupun tamunya. Bisa jadi
ini terjalin dengan baik dari hasil kerjasama perdagangan antara orang-orang pribumi
dengan orang-orang asing atau Arab. Sehingga terjadilah asimilasi budaya dan
kultur lainya. Jika hendak mencari kambing biasanya banyak terdapat didaerah
ini, tentulah karena kebiasaan dan tradisi masyarakat Arab kebanyakan suka
mengkonsumsi daging kambing walaupun ada juga yang tidak demikian.Orang-orang
Arab yang laki-laki yang sudah tua sering dipanggil habib.
F. Daerah Tuan-Tuan
Tuan-Tuan (tuan/ wan/ tuwan-tuwan) merupakan daerah mayoritas
melayu, dahulu sanagt luas sekali daerah ini, namun sekarang sudah
terpecah-pecah memisahkan diri menjadi desa atau kelurahan tersendiri.
Tuan-Tuanpun sekarang telah menjadi Kelurahan. Di daerah Tuan-Tuan ini juga
merupakan daerah kelahiran saya dan nenek moyang Ayah saya. Dahulu apabila kita
bermain ketempat daerah lain di Ketapang ke luar daerah Tuan-Tuan, lalu ada
orang menanyakan dari mana kita dan kita menjawab dari kampung Tuan-Tuan maka
walaupun kita mempunyai nama pribadi yang bagus, tetap saja dipanggi “Wan”. Ini
tidak terlepas dari karomah atau berkahnya daerah Tuan-Tuan, mengapa demikian?
Karena daerah Tuan-Tuan merupakan kumpulan masyarakat yang mayoritas adalah
Syarif dan Syarifah atau Ahlul Bait yang dikenal juga dengan Habaib. Mereka ini
adalah disebut-sebut sebagai keturuan
Rasulullah SAW. Setiap awal dari
nama mereka untuk laki-laki akan dimulai dengan Syarif ditulis denagn singkatan
Sy, sedangakan yang perempuan berawal dengan Syarifah ditulis dengan singkatan
Syf. Syarif atau syarifah ini sebenarnya jika di Arabkan adalah ditulis atau
disebut Sayyid (keturunan), hanya untuk Melayu yang ada di Ketapang, Suka Dana
serta Pontianak Kalimantan Barat lebih terbiasa dan populer serta mengenal
denagn sebutan Syarif dan Syarifah. Kemudian di belakang nama mereka akan
disertakan pula nama marganya, karena walaupun sesama keturunan Rasulullah dan
sama-sama syarif atau syarifah belum tentu mempunyai marga yang sama.Orang
Syarif dan Syarifah sendiri mempunyai silsilah Alawiyyin keturunan Rasullah
dari Al-Imam Al-Husein Radiyallahu Anhu. Sehingga mereka harus tahu sebagai
penerus Alawiyyin berasal dari siapakah masing-masing leluhur mereka dan sejauh
mana hubungan antara satu leluhur dengan leluhur lainnya, serta berapakah
tingkatan masing-masing leluhur sampai ketingkat Nabi Muhammad SAW. Dipercayai
di dalam Al-Qur’an sangat erat sekali
berdasarkan pengakuan mereka bahwa Nabi Muhammad SAW sangat erat sekali hubungannya dengan
pernyataan (pengakuan) Nabi Muhammad SAW atas Al-Imam Hasan dan Al-Imam Husein
Radiyallahu Anhu beserta sekalian keturunannya adalah sebagai anak cucu Nabi
Muhammad SAW.
Adapun Firman Allah yang diklaim sebagai landasannya yaitu:
Dalam surah An-Najam ayat 3-4, Al-Qashash ayat 56, Asy-Sura ayat
23, Al-Ahzab ayat 33. An-Nisa ayat 54, An-Nisa ayat 136, An-Nisa ayat 80,
At-Taubah ayat 62.sedangkan berdasarkan Hadis Rasulullah diantaranya
yaitu:Hadits riwayat Imam Ahmad dan Imam Hakim berasal dari Musawwar bin
Makramah Radiyallahu Anhuma, menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda yang
artinya:” Fatimah adalah bagian dari diriku, siapa yang membuatnya marah
akan membuatku marah, dan siapa yang menyenangkan dan melegakanya akan
menyenangkan dan melegakanku. Sesungguhnya bahwa semua nasab akan terputus pada
hari kiamat, kecuali nasabku dan sababku”. (Telaah Kitab Masnad Imam Ahmad
dan Masnad Al-Hakim). Hadist riwayat Al-Imam Ahmad oleh Assyuyuthiy dalam kitab
“Al-Jami’il Kabir” bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya:” Semua anak
yang dilahirkan oleh ibunya bernasab kepada ayah mereka. Kecuali anak-anak
Fatimah akulah wali mereka, akulah nasab mereka dan akulah ayah mereka”.
(Muhammad Hasan Aidid 1999 Petunjuk Monogram Silsilah Berikut Biografi dan Arti
Gelar Masing-Masing Leluhur Alawiyyin). Betapa kuatnya ikatan antara Syarif dan
Syarifah sehinggauntuk di Tuan-Tuan pegangan dalam menjaga nasab atau ketrunan
ini sangat kuat. Di kampung saya Tuan-Tuan itu bagi Syarifah (yang perempuan)
tidak diperkenankan untuk menikah atau dinikahi oleh orang yang bukan Syarif
atau keturunan Alul Bait, karena jika itu dilakukan berdosalah bagi mereka dan
kedua orang tuanya itu serta akan dikucilkan dikalangan keluarga mereka
sendiri. Inilah anggapan mereka. Mereka takut menanggung dosa alantaran
perbuatan itu. Jadi wajar saja di daerah saya tersebut masih ada dan dapat
ditemui wanita-wanita yang Syarifah itu belum juga bersuami sekalipun usianya
sudah beranjak dewasa dan tua. Jika golongan laki-lakinya yang Syarif, mereka
diperbolehkan untuk memperistri wanita-wanita yang bukan keturunan Ahlulbait,
jika mereka menginginkannya. Pada ketentuanya adalah Syarifah dilarang keras,
bahkan dikecam dan dikucilkan, bahkan tidak akan diakui sebagai anak dari orang
tuanya, atau diusir dari kediaman rumah orang tuanya, sekalipun orang tuannya
meninggal tidaklah mengapa baginya jika tidak dihadiri oleh anaknya itu. Hal
ini seolah-olah bisa dikatakan haram hukumnya dinikahi oleh selain laki-laki
yang Ahlulbait, hanya saja kata haram itu tidak pernah dikatakan oleh orangtua
mereka. Dengan menikahnya perempuan Ahlul Bait dengan orang yang di luar Ahlul
Bait sekalipun orang Arab atau asing tetapi selagi tidak Ahlul Bait, maka
terputuslah nasab keturunanya.Sehingga orang tua dan siwanita tersebut merasa
bersalah karena telah memutus perkembangan keturunan Rasulullah. Namun bagi
laki-lakinya justru sah-sah saja dengan menikahi wanita yang bukan Ahlul Bait,
maka anak keturunanya tetap mengikuti darah keturunan sang laki-laki yang Ahlul
Bait. Alangkah lebih baik dan bagus lagi Syarif tetap menikahi wanita yang
Syarifah juga sehingga lebih murni keturunanya. Gelar marga atau Syarif dan
Syarifah itu hanya dapat diberikan atau diperoleh dengan jalur pernikahan yang
menghasilakan anak, sehingga ketika menghasilkan anak. Anak tersebut layak menyandang
marga Syarif jika laki-laki dan Syarifah jika perempuan. Walaupun laki-laki
Ahlul Bait di Tuan-Tuan tersebut boleh menikahi perempuan dari kalangan manapun
namun, mereka sangat selektif dalam memilih pasangan. Orang-orang Melayulah
yang banyak menjadi istrinya, sehingga di Tuan-Tuan itu walaupun mereka Syarif
dan Syarifah namun mereka juga mau diakui sebagai suku Melayu. Heran memang
namun demikianlah adanya. Seharusnya dari persukuan itu mereka harus
terang-terangan mengakui sukunya adalah Habsyi atau Hisyam mungkin juga
Qurais, sebagaimana asal usulnya suku
moyangnya orang Arab.Di Ketapang Kelurahan Tuan-Tuan sangat sulit ditemui jika
mereka menikah dengan Sukuselain Melayu. Tidak seperti di Pontianak yang
ternyata banyak orang-orang Syarifnya memperistri wanita dari suku Madura, saya
sendiri sebelumnya sangat kaget. Ternyata di Pontianak itu laki-laki Syarif
terkadang memilki dua istri yang baiasanya istri keduanya adalah wanita Madura
(kemungkinan karena besedia untuk dimadu) sehingga orang syarif dan Syarifah di
Pontianak lebih lancar berbicara Madura. Untuk mengharagai panggilan kaum tua
yang Syarif dan Syarifah yaitu, apabila Syarif yang sudah berusia lebih tua
atau lanjut sering dipanggi dengan sebutan “Ami” yaitu (Bapak kemanakan/
bapak), sedangkan yang Syarifah berusia tua dipanggil “Ibu” (Bu). Orang Syarif
dan Syarifah di Tuan-Tuan Ketapang sangatlah kuat juga dalam memegang syariat
dan aturan dalam keseharianya. Namun seiringnya perkembangan hidup masyarakat
dan pergaulan yang agak bebas dan berubah, sedikit banyak telah berpengaruh
pada kehidupan generasi muda yang tidak lagi terlalu patuh pada estetika yang
sudah berlangsung sejak zaman nenek moyangnya itu. Adapun marga Syarif dan
Syarifah yang banyak ditemui di Tuan-Tuan Ketapang yaitu antaralain:
a.
Al-Aydrus
Yang
pertama kali dijuluki (digelari) “Al-Aydrus” adalah Waliyullah Abdullah bin Abi
Bakar Assakran bin Abdurrahman Asseggaf (dan seterusnya). Gelar Al-Aydrus
berasal dari kata”Utaiyrus” yang dalam bahasa Indonesia berarti bersifat
seperti macan atau singa, karena semasa kecilnya beliau berani menghadapi apapun
(baik itu manusia, makhluk halus dan binatang buas). Beliu dilahirkan di kota
Tarim pada bulan Dzulhijjah tahun 811 Hijriah, beliu dikaruniai lima orang anak
laki-laki dan tiga diantaranya meneruskan keturunan beliau yang masing-masing
dinamai: Alwi yang menurunkan keturunanAl-Aydrus; Al-Ahmad Al-Muhtabi.
Keturunnanya berada di Bor, di Syam, di Dhafar (Hadramaut) dan di Jawa
(Indonesia). Selanjutnya Husein yang menurunkan keturunan Al-Aydrus: Al Umar
bin Zain, Al Tsibiy, Al Ma’igab, menurunkan keturunan Ahamd Syarim, Hasan bin
Abdullah, Abbas bin Abi Bakar.
Kemudian
anaknya yang bernama Syaich yang menurunkan keturunan Al-Aydrus; Asshalabiyyah
dan Ali Zainal Abidin. Keturunan Alwi, Husein, dan Syaich bin Abdullah Al
Aydrus selain berada di Timur Tengah, juga kebanyakan berada di Indonesia.
Waliyyullah Abdullah bin Abi Bakar Assakran meninggal dalam perjalanannya ke
kota Syihir menuju kota Tarim (Hadramaut)pada tanggal 12 Ramdhan 865 Hijriah.
(Telaah Al-Mu’Jamul Lathif Halaman 140-141).
b.
Al-Aidid
Orang
yang pertama kali digelari “Aidid” ialah waliyullah Muhammad Maulana Aidid bin
Ali Al Huthah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi
Ammil Faqih (seterusnya). Soal julukan yang disandang itu adalah karena beliau
bermukim di disuatu tempat yang disebut”Dusun Aidid” yaitu dusun yang terletak
di daerah pegunungan yang tidak jauh dari kota Tarim Hadramaut (Yaman, Timur
Tengah). Berdasarkan sebuah kisah yang diriwayatkanoelh beberapa Leluhur
Alawiyyin generasi ke 34 yang berada di Indonesia mengisahkan bahwa pada
mulanya Dusun Aidid merupakan tempat yang sangat ditakuti oleh penduduk
disekitarnya, karena banyak dihuni oelh makhluk halus yang jahat. Sehingga
siapapun ke sana tidak akan bisa kembali lagi.
Pada suatu malam yang gelap gulita, penduduk melihat disekitar tempat
tersebut diterangi cahaya yang terang benderang di atas dusun tersebut.
Ternyata cahaya itu adalah cahaya seorang Waliyullah yang bernama Muhammad bin
Ali Al Huthah.akhirnya dusun yang sangat ditakuti tersebut menjadi dusun yang
sangat ramai, aman dan makmur. Dan diangkatlah Waliyullah Muhammad bin Ali Al
Huthah: sebagai Peanguasa Dusun Aidid tersebut, dengan gelar “Muhammad Maulana
Aidid”, maulana berarti penguasa. Muhammad Maulana Aidid dilahirkan di kota
Tarim dan mempunyai enam anak laki, tetapi hanya tiga orang saja yang
melanjutkan keturunanya yaitu; Abdullah dan Abdurrahman yang dijuluki Bafaqih
yang kemudian menjadi leluhur Al Bafaqih. Sedangkan anak yang satunya lagi yang
bernama Ali tetap di juluki Aidid yang kemudian menjadi leluhur Al Aidid.
Waliyyullah Muhammad Maulan Aidid meninggal di kota Tarim 862 Hijriah. (Telaah
Al Mu’Jamul Lathif halaman 141-142-143). Tertarik dengan ini, dan saya juga
berdomisili di daerah Tuan-Tuan, nama saya yang tadinya Zunaidi, jika dipisah
menjadi Zun dan Aidi, maka saya terkadang membaliknya menjadi Zunaidi Aidi
Tuan-Tuan. Saya rasa tidaklah menyalahi demi menjaga marwah dari asal usul
moyang saya yang berdiam di Tuan-Tuan. Lengkapnya saya adalah Zunaidi bin
Nawawi bin Sedi bin Mat Ali Tuan-Tuan. Kakek saya mempunyai area makam
tersendiri yang dikhususkan dan diwakafkan untuk keluarga besar kami, makam itu
bertempat di daerah pesisir Bintang Musir Tuan-Tuan. Demikian juga nenek saya
mempuanyai area makam, tersendiri juga yang diwakafkan khusus untuk keluarga
dan turunan anak cucunya, adapun makamnya terletak di Kelurahan Desa Banjar.
Sebelah Ibu saya juga demikian memilki makam khusus keluarga yang bertemapat di
Desa Suka Baru, karena Ibu saya berasal dari dsa Suka Baru. Namun saya heran saja ketika tidak ditemukan
makam yang menghususkan bagi Syarif dan Syarifah di Tuan-Tuan seperti makam khusus Uti dan
Utin di Muliakerta.
c.
Al Haddad
Muhammad
bin Abibakar bin Ahmad Masrafah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad bin
Abdurrahman bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Marbad (seterusnya).
Penyebab gelar ini adalah ada dua versi yaitu kerena beliau tukang pandai besi
yang dalam bahasa Arab disebut Al Haddad, yang kedua versinya adalah sering
dikatakan orang Al Haddadil Qulub artinya Pandai Kalbu. Maksudnya karena
Waliyyullah Ahmad bin Abibakar Al Haddad bila berdakwah dalam menginsyafkan
seseorang ke jalan yang benar dapat melemahkan kalbu (hati) seseorang itu sekalipun
orang tersebut berkalbu (berhati) yang keras bagaikan besi. Waliyyullah Ahmad
Al Haddad tak ubahnya sebagai seorang Pandai Besi yang dapat melunakkan besi
yang keras. Beliau dilahirkan di kota Tarim hanya mempunyai seorang anak
laki-laki yang dinamai Alwi. Diantara keturunannya generasi yang ke-31 adalah
waliyyullah Al Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad yang tersohor dengan Ratib Al
Haddad nya. Al Habib Abdullah bin Alwi
Al Haddad bersaudara dengan Waliyyullah Al Habib Umar bin Alwi Al Haddad. Kedua-duany tidaklah pernah datang
ke Indonesia, adapun yang menurunkan keturunannya di Indonesia adalah anak
cucunya generasi ke-33. Keturunan Al Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad yang
berada di Indonesia kebanyakkan berada di
Jawa Timur, sedangkan keturunan Al Habib Umar bin Alwi Al Haddad
kebanyakan berad di Pasar Minggu
Jakarta.(Termasuk diantaranya Al Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad).
Waliyyullah Ahmad bin Abi Bakar bin Ahmad Al-Masyrafah meninggal pada tahun 870
Hijriah. (Telaah Al Mu’Jamal Lathif halaman 81). Ini membuat keheranan bagi
saya mengapa Syarif dan Syarifah tidak membiasakan memanggil sesamanya dengan
sebutan Habib, justru malah orang di Kampung Arab yang kebanyakan dipanggil
Habib.
d.
Al Asseggaf
Yang
dijuluki Asseggaf adalah Waliyyullah Abdurrahman bin Muhammad Mauladdawilah bin
Ali bin Alwi bin Muhammad Al Faqih Al Muqaddam (seterusnya). Gelar itu
disandangkan karena beliau diketahui sebgai pengayom para wali pada zamannya.
Diibaratkan sebagai atap (piyan) bangunan, yang dalam bahasa Arab disebut
Sagfun. Beliau sendiri sebenarnya berusaha menutupi kebesaran martabatnya itu,
(karena twaddunya), namun para wali di zaman itu memproklamasikan beliau
sebagai pemimpin dan pembimbing para wali. Belai dilahirkan di kota Tarim
Hadralmaut (Yaman Timur Tengah), dikaruniai 13 anak laki-laki dan 7 anak
perempuan. Dari 13 anak laki-laki tersebut hanya 7 orang yang melanjutkan
ketrunanya yaitu:
Abubakar,
Alwi, Ali, A’qil, Abdullah, Husein, Ibrahim. Beliau meninggal di kota Tahrim
pada tahun 819 Hijriah. Banyak sekali
gelar-gelar yang di sandang oleh Ahlul Bait itu, untuk mengetahuinya apa
marganya terkadang dapat dilihatnya dari belakang namanya. Jadi di
Tuan-Tuanorang Syarif dan Syarifah akan mencantumkan Syarif dan syarifah di
depan namanya lalu gelar marga setelah namanya. Seperti nama guru besar saya
Syarif Yusuf Al Hadad dan Syarif Muhammad Zain Al Haddad. Adapun nama-naman
marga yang lain yaitu:Al-Adani, Al-Bin “Aqil, Al-Ba’ aqil, Al-Attas, Al- Auhuj,
Al-Ba’bud, Al-Bar, Al-Bayati, Al-Bahar, Al-Barrum, Al-Babirik, Al-Cherrid, Al-
Chaneman, Al- Chumur, Al- Maulana Chailah, Al- Maulan Dawilah, Al-
Djamalullail, Al- Bin Djindan, Al- Djufri, Al- Djunaid Achdor, Al- Djunaid,
Al-Fad’Aq, Al- Ba Faqih, Al- Bil Faqih, Al- Ba Faraj, Al- Abu Futhaim, Al-
Gadriy, Al- Bal Ghoits, Al-Habsyi, Al-Haddar, Al- Hadi, Al- Hamid Inat, Al-
Hiyyid, Al- Ba Nahsan, Al- Bahsin, Al- Hinduan, Al- Ba Harun, Al- Al-Kaf, Al-
Muhdar, Al- Mahjub, Al- Masyhur, Al- Marzaq, Al- Masyhur Marzaq, Al- Mugebel,
Al- Musyayach, Al- Musawa, Al- Munawar, Al- Madihij, Al- Muthahhar, Al- Nadzir,
Al- Abu Numay, Al- Rachilah, Al- Ba Ragbah, Al- Asseriy, Al- Bin Semith, Al-
Bin Sahil, Al- Ba Surroh, Al- Shalabiyyah, Al-Shafi, Al- Syahab, Al- Syathiry,
Al- Basyeban, Al- Syaich Abi Bakar, Al- Basymeleh, Al- Bin Thahir, Al- Bin
Yahya, Al- Zahir. (Muhammad Hasan Aidid
1999:1-85). (bersambung…..) Oleh Zunaidi Tuan-Tuan.